Soroti Kasus Rempang, Aktivis HAM Natalius Pigai Singgung UU Omnibus Law, Simak

Sabtu, 30 September 2023 – 13:51 WIB
Aktivis HAM Natalius Pigai sekaligus eks Komisioner Komnas HAM. Ilustrasi. Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/nz/aa

jpnn.com, JAKARTA - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Natalius Pigai ikut menyoroti konflik yang terjadi di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang menyedot perhatian nasional belakangan ini.

Menurut Natalius, konflik Rempang terjadi karena adanya tumpang tindih kebijakan antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat yang dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan UU memberikan izin, bahkan diduga terjadi jual-beli lahan oleh Pemda hingga Pemerintah Pusat.

BACA JUGA: Yayasan MKB Nilai Investasi Sangat Penting Bagi Pulau Rempang

Pada yang saat yang sama, kata dia, Badan Pengusahaan (BP) Batam berjalan dengan kewenangannya sendiri.

“Dalam kondisi seperti ini justru kami pertanyakan seberapa punya pengaruh UU Omnibus Law yang sudah disahkan itu? Kalau konsisten Omnibus Law diterapkan dan punya daya gedor tinggi mungkin bisa jadi solusi," ungkap Natalius Pigai di Jakarta, Sabtu (30/9).

BACA JUGA: KAKI Minta Mafia Tanah di Rempang Segera Ditindak

Dalam pengamatan Natalius, patut diduga pada kasus Rempang ini sudah terjadi jual beli izin oleh pemda hingga Pemerintah Pusat berdasarkan kewenangan yang dimiliki.

"Katakan izin hotel atau bangunan atau apa pun itu berdasarkan UU Pemda. Demikian juga yang dapat konsesi lahan dari KLHK. Itu karena UU Lingkungan Hidup. Jadi, terjadi tumpang tindih di situ yang berjalan sendiri-sendiri, padahal dari dulu Batam itu berdasarkan UU Investasi di bawah BP Batam. Jadi, Omnibus Law yang katanya menggabungkan semua regulasi itu di mana?" ujar Pigai.

BACA JUGA: Rusak Iklim Investasi, Konflik di Rempang Harus Jadi Pelajaran

Menurut Pigai, dalam kasus Rempang, urusan dengan masyarakat yang berpenghuni sebenarnya bukan masalah yang sulit karena masyarakat bisa diajak bicara.

Hal yang sulit adalah adanya izin-izin oleh pemda dan Pemerintah Pusat yang sudah diberikan

"Jadinya kan investor dirugikan oleh pemkot, pemerintah provinsi, BP Batam sendiri dan Pemerintah Pusat yang berjalan sendiri-sendiri,” ujar Pigai.

Pigai menduga investornya diperas dalam ketidakpastian dan orang-orang liar masuk karena bertahun-tahun tanah terlantar.

“Saya menduga ada praktik jual beli izin oleh pemkot, pemprov, dan pusat," ujar Pigai.

Diberitakan sebelumnya, bentrokan pecah antara warga Rempang, Batam dan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam BP Batam pada Kamis (7/9).

Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.

PT Makmur Elok Graha menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah melalui BP Batam dan Pemkot Batam bekerja sama.

Kini, pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun ini sesuai Peraturan Menko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler