Soroti Kebijakan Pemprov DKI di Tebet, Pakar: Bukan Hanya Bau

Kamis, 26 Agustus 2021 – 22:43 WIB
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta menempatkan Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) di Tebet, Jakarta Selatan dinilai keliru. Pasalnya, FPSA itu berada di areal publik dan berada di samping taman.

Tempat pengelolaan sampah itu selain dekat pemukiman seperti Rumah Susun (Rusun), tempat kegiatan belajar mengajar (sekolah) juga bersebelahan langsung dengan Taman Honda yang biasa dimanfaatkan masyarakat untuk menghirup udara segar, sarana berolahraga, dan berinteraksi sosial.

BACA JUGA: Respons Trubus Soal Penerapan Aturan di Daerah Keamanan Terbatas Bandara Soetta

“Jadi, tempat pembuangan sampah itu harus terpisah, harus jauh dari pemukiman. Kalau itu ya, enggak bisa, pasti penolakannya tinggi karena risiko, efek polusi yang dikeluarkan dari sampah itu, bukan hanya baunya tetapi juga itu ada limbah beracun juga ketakutannya di situ,” kata Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, Kamis (26/8).

Menurut Trubus, Pemprov DKI Jakarta mesti mencari alternatif tempat lain untuk membangun proyek tersebut.

BACA JUGA: Ikhtiar KLHK Tingkatkan Kesadaran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah

Trubus menyebut masalah sampah adalah masalah klasik yang sampai hari ini Pemprov DKI Jakarta belum bisa menemukan cara yang tepat dan tempat yang laik untuk mengelola sampah seperti halnya di Bantar Gebang.

“Kalau membangun pengelolaan sampah karena alasan Bantar Gebang, itu masalah klasik. Soal Bantar Gebang juga itu sama jadi sampai hari ini Pemprov DKI itu tidak bisa mencari tempat yang dipakai untuk tempat pembuangan sampah,” ulasnya.

Trubus mencontohkan proyek pengelolaan sampah di dalam Kota atau Intermediate Treatment Fasility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara yang diklaim menggunakan teknologi tepat guna, teruji dan ramah lingkungan, di bawah kendali Pemprov DKI Jakarta ternyata mangkrak alias jalan di tempat, tidak sesuai dengan harapan sehingga belum bisa digunakan untuk mengurai masalah sampah yang ada di Ibu Kota.

“Seharusnya dengan teknologi bisa, tetapi yang di Sunter itu ternyata gagal. Artinya enggak sesuai target, yang di Sunter itu kan ada ITF ya, itu enggak mencapai yang diharapkan,” bebernya.

Trubus menegaskan apapun alasannya pengelolaan sampah tidak seharusnya di samping taman dan di tengah pemukiman.

Dia menyarankan Pemda DKI Jakarta mencari daerah atau lahan yang masih relatif kosong seperti di sekitar wilayah Jakarta Utara.

“Jangan di situ (pemukiman warga) harus cari tempat lain, apa pun alasannya enggak bisa  tempat sampah di taman dan tempat pemukiman, yang paling bagus adalah daerah yang masih kosong. Kalau ditanya Jakarta itu daerah mana yang masih kosong tentu paling banyak itu di daerah utara (Jakarta Utara),” katanya.

Menurut Trubus, Pemprov DKI bisa membeli tanah atau mencari daerah yang bebas, jauh dari pemukiman seperti wilayah Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara yang dijadikan untuk pemakaman Covid-19 dengan lahan yang cukup luas.

Pemprov DKI Jakarta, kata Trubus bisa memanfaatkan lahan yang tersedia di Rorotan, seperti halnya jika masih berbentuk rawa dapat dilakukan pengurugan tanah terlebih dahulu untuk dapat dijadikan lahan pengelolaan sampah.

“Harus dicarikan tempat lain yang lebih bebas gitu. Artinya kalau bisa ya seperti yang di Rorotan itu,” katanya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler