jpnn.com, JAKARTA - Pilkada Serentak 2024 telah berlangsung tepat pada 27 November 2024. Berbagai pihak pun memberikan sorotan terhadap pelaksanaan kontestasi 5 tahunan itu.
Tak terkecuali Kelompok DPD di MPR RI. Salah satu bentuk sorotan tersebut adalah pelaksanaan kegiatan Diskusi Publik Kelompok DPD di MPR ke-3 tahun 2024 yang dilaksanakan pada Minggu, 1 Desember 2024 di Hotel Santika Premiere Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.
BACA JUGA: Pilkada Sigi, Penghitungan Suara di Kecamatan Rampung Lebih Cepat
Diskusi bertema “Potret Pilkada 2024: Antara Harapan Dan Kenyataan Otonomi Daerah” ini menghadirkan beberapa narasumber, baik dari Pimpinan dan Anggota Kelompok DPD di MPR maupun para pakar.
Dari unsur Kelompok DPD RI di MPR RI yaitu Dr. H. Dedi Iskandar Batubara M.S.P. M.H (ketua/Senator dari Sumatera Utara), Ir. Abraham Liyanto (Sekretaris/Senator Provinsi Nusa Tenggara Timur), Prof. Dr. H. Dailami Firdaus LL.M (Senator DKI Jakarta), Habib Zakaria Bahasyim (Senator Kalimantan Selatan), dan Dr. Lia Istifhama (Senator Jawa Timur).
BACA JUGA: PUI Apresiasi Kerja Polri di Pengamanan Pilkada 2024
Sedangkan dari unsur pakar atau ahli yang hadir sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si (Guru Besar Ilmu Administrasi UI), Prof. Dr. Lili Romli, M.Si (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional), Prof. Dr. Siti Zuhro (Pengamat Politik/Peneliti Ahli Utama BRIN), Dr. Endang Sulastri, M.Si (Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta sekaligus Komisioner KPU 2007-2012), dan Titi Anggraini, S.H., M.H (Dosen Hukum Pemilu Fakultas Ilmu Hukum Indonesia sekaligus Pembina Perludem).
Beberapa topik menarik dikaji dalam forum tersebut. Di antaranya tentang boundary control atau kendali rezim lokal dalam pemilihan Kepala Daerah, budaya pragmatisme politik seperti vote buying maupun praktik distortif lainnya, hingga upaya membangun public trust sebagai penguat pembangunan otonomi daerah.
BACA JUGA: Setara Institute Soroti Evaluasi PDIP Soal Pilkada dan Keterlibatan Polri
Dedi Iskandar Batubara dalam sambutan pembuka selaku Ketua Kelompok DPD di MPR menjelaskan tujuan dari FGD tersebut.
“Salah satu yang melatar belakangi lahirnya otonomi daerah adalah keinginan mewujudkan demokratisasi politik di tingkat daerah. Salah satunya melalui partisipasi politik masyarakat dalam menentukan pemimpin-pemimpin daerah, sekaligus ikut mengontrol dan mengawasi segala kebijakan di daerah. Dengan begitu, FGD ini momen menyikapi otoda (otonomi daerah) dan pilkada,” ujar Dedi Iskandar.
Lebih lanjut, Pendidik sekaligus politikus asal Sumatera Utara itu menjelaskan beberapa permasalahan dalam Pilkada 2024.
“Ada beberapa masalah, di antaranya tingkat partisipasi pemilih sangat rendah jika dibandingkan dengan Pilpres dan Pileg 2024. Bahkan di Jakarta, partisipasi hanya kisaran 50 persen. Selain itu, terjadi kecurangan di tingkat penyelenggara seperti KPPS yang mencoblos surat suara untuk calon tertentu.”
“Kemudian banyak praktik politik uang sekalipun tidak sedikit pejabat terkena OTT akibat politik biaya mahal yang pernah dilaluinya. Selain itu, terjadi kejutan dimana kotak kosong mengalahkan calon tunggal di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka,” ujar Dedi Iskandar.
Berbagai masalah tersebut kemudian diharapkannya menjadi poin-poin yang dikaji dalam FGD Kelompok DPD tersebut.
Dari forum ini, Dedi Iskandar mengajak sama-sama berdiskusi, apakah output Pilkada 2024 ini sudah sesuai dengan tujuan otonomi daerah yaitu mewujudkan demokratisasi di tingkat daerah.
Sekretaris Kelompok DPD RI di MPR Abraham Paul Liyanto menilai forum tersebut sangat penting untuk menyikapi Pilkada serentak 2024.
“FGD ini sangat penting karena kita bersama-sama menyikapi Pilkada Serentak yang baru usai. Karena Pilkada tentu seharusnya memberikan harapan yang memang di lapangan ternyata harapan tidak selalu sesuai kenyataan,” ujar Abraham
Salah satu rekomendasi menarik adalah munculnya proses rekrutmen penyelenggara pemilu sesuai fungsi lembaga tersebut.
Prof Dailami yang baru saja pulang dari aksi sosial DPD RI di Palestina, menyampaikan pentingnya attitude calon Kepala Daerah.
“Banyak alasan mengapa masyarakat tidak memilih calon Pilkada. Di antaranya adalah attitude yang dimiliki paslon. Selain itu, penting juga membuka kesempatan lebih terbuka calon perseorangan penting untuk dikaji untuk membuka peluang lahirnya cakada potensial, terutama bagi putra daerah,” ujar Profesor Dailami.
Terkait sorotan pada kecurangan dalam Pilkada, Habib Zakaria mempertanyakan keberadaan Bawaslu.
“Kita melihat Pilkada Serentak masih diwarnai banyak kecurangan dan kewenangan Bawaslu memang dipertanyakan. Apa mungkin untuk menutupi celah hukum, pelanggaran diselesaikan di aparat penegak hukum?” tanya Habib Zakaria.
“Tantangan yang kita hadapi adalah pola pemilihan yang di beberapa daerah ternyata 100 persen memilih salah seorang paslon. Tidak ada suara tidak sah maupun yang tidak memilih karena meninggal, misalnya. Potret-potret ini yang kemudian menjadikan publik, terutama netizen melakukan controlling kuat dalam proses politik.”
Sedangkan Lia Istifhama yang akrab disapa n\Ning Lia, memberikan pandangannya tentang perlunya pengaturan maksimal syarat dukungan sebagai upaya menekan pragmatisme.
“Kita akui banyak upaya menumbuhkembangkan budaya pragmatisme maupun immediacy dalam arti persaingan politik yang tidak sehat dan menjadikan publik hanya melihat keuntungan terbanyak dalam preferensi politiknya. Dengan begitu high cost politic akan terjadi dan yang menjadi problem tentu suistanabilitas pembangunan,” ujar Ning Lia.
“Salah satu hal mendasar yang bagi saya penting sebagai usulan adalah syarat pencalonan kepala daerah, yaitu syarat maksimal dukungan agar terbuka ruang luas bagi putra daerah untuk hadir sebagai pemimpin. Hal ini bentuk keprihatinan ternyata tidak semua calon tunggal diterima di hati masyarakat,” ujar Ning Lia.
Di akhir, salah satu rekomendasi penting dalam FGD tersebut adalah pentingnya kehadiran DPD RI sebagai sarana aspirasi daerah agar lebih aspiratif.
“Banyak bagian penting yang bisa diambil oleh kelembagaan DPD RI sebagai utusan daerah, di antaranya kewenangan daerah setelah otonomi daerah.
Sebagai contoh implementasi UU Cipta Kerja terkait kebijakan daerah, apakah prodaerah ataukah menjadi potensi hambatan,” pesan salah satu narasumber, Irfan Ridwan.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich Batari