jpnn.com - ”WHEN every step has reason and each mistake gives lesson. Tatkala setiap langkah memiliki tujuan dan setiap kesalahan menghasilkan pelajaran.”
Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
=================================
BACA JUGA: Bikin 4.000 Masjid agar Muslim Indonesia Serasa di Rumah
Kutipan itu asli milik Deanandya. Tak sekadar menciptakan, Dea –sapaan Deanandya – juga meresapi dalam berbagai kiprahnya. Dea, gadis dinamis dengan dahi berhias poni itu, tak takut melangkah. Sebab, langkahnya memang ditujukan untuk kebaikan. Dia pun tak takut seandainya ada langkahnya yang keliru karena kekeliruan bisa menjadi bahan pelajaran yang mahapenting.
Maka, pada usia 20 tahun, Dea sudah membuahkan prestasi. Dia telah berbuat untuk masyarakat saat karib sebayanya, mungkin, masih kerap bergalau-galau di media sosial lantaran putus cinta.
BACA JUGA: Nabung Setengah Abad, Madzari Akhirnya Naik Haji
Ya, Maret 2014 Dea sudah diwisuda sebagai sarjana dari Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi 10 Nopember (ITS). Ingat, umurnya masih 20 tahun.
Bukan itu saja pencapaiannya tahun ini. Alumnus SMAN 5 tersebut adalah satu di antara dua penerima penghargaan Pemuda Pelopor Surabaya 2014 Bidang Sosial, Budaya, dan Pariwisata. Kontes yang dihelat Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Surabaya pada Agustus itu diikuti 48 peserta. Semuanya punya kiprah. Semuanya punya prestasi. Tidak main-main.
BACA JUGA: Mahasiswa Indonesia Hanya Satu, Berminat Ikut Campus Expo
Dea bisa menyingkirkan peserta lain lantaran kiprahnya di dunia kesehatan. Dia terlibat dalam penyuluhan kanker yang diadakan Bidadari, gerakan di dunia kanker serviks dan payudara.
Dara kelahiran Surabaya, 25 Agustus 1993, itu memang sudah familier dengan dunia kanker. Neneknya, Prof dr Roemwerdiniadi Soedoko SpPA, salah seorang pendiri Yayasan Kanker Wisnu Wardhana. Ayahnya, dr Ananto Sidohutomo, pencetus gerakan Bidadari.
Dea baru terlibat secara langsung dalam gerakan tersebut pada 2009. Saat itu dia kerap berpartisipasi langsung dalam penyuluhan-penyuluhan kanker payudara. Dea juga membikin website gerakan Bidadari. Dia mengumpulkan artikel-artikel dari para dokter yang dikenalnya. ”Saya minta tolong ke mereka untuk bikin artikel seputar kesehatan, terutama kanker,” katanya.
Sejak itu Dea makin intens menyosialisasikan gerakan Bidadari. Baik lewat internet, ke teman-temannya, maupun ikut dalam penyuluhan kanker payudara komunitas Bidadari. Ketika penyuluhan berlangsung, Dea terlibat sebagai relawan yang membantu masalah teknis dan lainnya. Usianya yang belia dan masih sekolah membuat Dea belum memungkinkan jadi penyuluh.
Saat pendirian Museum Kanker Indonesia di Jalan Kayun pada 2013, Dea langsung membuat website-nya. Keahliannya di bidang teknologi informasi memang membantu Dea menyosialisasikan kanker dalam dunia maya.
Sebagai anggota keluarga yang mayoritas dokter, Dea tahu betul pentingnya sosialisasi di bidang kesehatan. Sebab, masih banyak yang belum sadar untuk berobat. Karena percaya mitos, banyak pula pasien kanker payudara yang tak mau dioperasi. Mereka takut mati.
Dea masih terkenang pengalaman salah seorang teman aktivisnya baru-baru ini. ”Saat saya cerita pengalaman kampanye pencegahan kanker payudara, dia menceritakan kisah ibunya,” ucap pengagum Nabi Muhammad, Ir Soekarno, dan Leonardo da Vinci tersebut.
Ibu teman Dea itu tak mau dioperasi. Dia lebih menggubris omongan tetangga yang bilang bahwa operasi justru memperparah kondisi. Ibu itu pun memilih pengobatan alternatif. Sampai meninggal. ”Padahal, kalau dokter menganjurkan operasi, berarti kankernya masih bisa diambil dan nyawanya masih bisa diselamatkan,” terangnya. Bukan hanya itu, masih banyak cerita getir lainnya yang membuat Dea merasa harus bergerak.
***
Nur Fatti Fazriati adalah pemenang Pemuda Pelopor Surabaya karena kiprahnya di dunia pendidikan. Mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut getol ’’menggarap’’ anak-anak.
Sejak SMP, pada 2009, Ria –sapaan Nur Fatti Fazriati– aktif. Ketika itu orang tua Ria yang bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) membawa kabar. Ada LSM dari Australia yang menawarkan bantuan untuk komunitas yang aktif di bidang anak-anak. Ria tertarik.
Sebelum itu, dia juga mendengar bahwa di tempat tinggalnya, Kelurahan Banyu Urip, pernah ada komunitas anak-anak. ”Tapi, sudah tidak aktif. Jadi, saya mencari tahu pengurus sebelumnya siapa,” kata gadis kelahiran Surabaya, 8 Juli 1995, itu.
Setelah dapat beberapa informasi, Ria pun kembali mengaktifkan Dabajay, forum anak tersebut. Nama komunitas itu adalah singkatan dari Daerah Banyu Urip dari Putat Jaya.
Ria pun berusaha keras membuat komunitasnya eksis. Cara yang paling sering dilakukannya adalah keliling kampung-kampung. Dia membagikan selebaran soal komunitas tersebut. ”Saya juga datang ke Pak RT untuk memberitahukan ada forum ini,” ucapnya.
Hanya ada satu syarat yang diterapkan Ria bagi mereka yang ingin bergabung dengan Dabajay. Yaitu, usianya 13–18 tahun. Awalnya memang tidak banyak yang ikut. Hanya terbilang hitungan jari. Tapi, sekitar enam bulan berjalan, anggota baru datang dengan sendirinya. Sekarang anggota Dabajay sudah mencapai 170 orang.
Apa saja yang dilakukan dalam forum tersebut? Tentu, utamanya adalah sosialisasi seputar bahaya narkoba, minuman keras, hingga seks bebas. Tapi, sosialisasi itu tidak dilakukan hanya melalui penyuluhan satu arah. Peranti sosialisasi tersebut justru alat musik, teater, atau tari. Anak-anak itu menciptakan musik dengan lirik seputar bahaya penyakit masyarakat tersebut. Mereka membesut pentas teater berisi pesan-pesan moral.
Hampir setiap hari mereka berkumpul di Pusat Kegiatan Masyarakat (PKM) Kelurahan Banyu Urip. Jadwalnya paten. Misalnya, Senin dan Kamis untuk musik. Rabu untuk menari.
Sarana kegiatan mereka juga lengkap. Pada 2011 Dabajay mendapat peranti musik lengkap dari LSM Australia. Selain itu, ada relawan dari mahasiswa jurusan seni tari yang bersedia mengajar.
Sampai sekarang Ria rajin antar jemput anggota yang rumahnya jauh dari PKM. Padahal, sekarang Ria sudah bukan ketua Dabajay. Kini dia adalah Dewan Pembina Dabajay.
Selama jadi ketua forum, Ria kerap menghadapi anak-anak dengan beragam karakter. Ya, Banyu Urip dan Putat Jaya memang dekat dengan kawasan lokalisasi. Artinya, anak-anak di sana rawan terjebak dalam kenakalan remaja. Kenyataannya pun seperti itu. Banyak anggota Dabajay yang pernah terjebak dalam pergaulan bebas. Ada yang pernah mabuk tiap hari, terlibat narkoba, terjun ke seks bebas, atau menyukai sesama jenis. ’’Untung, ketika bergabung dengan kami, semuanya sudah sembuh. Tidak nakal lagi,’’ ucapnya.
Bukan sekali dua kali Dabajay diprotes orang tua atau penduduk sekitar PKM. Mereka merasa terganggu dengan ”keributan” yang dibikin Dabajay saat berkumpul. Tapi, Ria punya alasan dan bukti yang kuat bahwa yang mereka lakukan selama ini memang tidak sekadar berkumpul. Anak-anak itu, sejatinya, belajar dan berkarya. ’’Namanya anak-anak, kalau sudah berkumpul, pasti ramai. Padahal, disambi ngerjain PR,’’ imbuh alumnus SMK Kawung II tersebut
Beberapa anggota Dabajay merupakan anak pekerja seks komersial (PSK). Tentu tidak ada masalah dengan hal tersebut, malah menurut Ria, anak-anak PSK suka berkegiatan yang positif. Mereka aktif dan malah terkesan membentengi diri dari hal-hal negatif. Itu sama dengan Ria yang memilih aktif di Dabajay untuk membentengi diri dari kenakalan remaja yang semakin memprihatinkan.
***
Di usianya, Deanandya dan Nur Fatti Fazriati sudah tak ragu menebar suluh bagi masyarakat. Dara-dara muda itu tak ragu-ragu melangkah. Sebab, every step has reason and each mistake gives lesson.... (*/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebarkan Kemajuan Indonesia-Tiongkok lewat Radio 65 Bahasa
Redaktur : Tim Redaksi