Sosialisasi Redenominasi Mulai Januari 2013

Sabtu, 29 Desember 2012 – 04:32 WIB
JAKARTA - Rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang terus bergulir. Langkah pertama berupa sosialisasi ke publik pun siap dijalankan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan, tim sosialisasi akan terdiri Kemenko Perekonomian, BI, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan beberapa instansi lainnya. ''Koordinatornya Menko Perekonomian (Hatta Rajasa),'' ujarnya, Jumat (28/12).

Redenominasi adalah penyederhanaan mata uang. Dalam skema redenominasi yang disusun pemerintah dan Bank Indonesia (BI), angka pecahan Rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka Nol. Sehingga, misalnya, uang senilai Rp 1.000 nanti setelah redenominasi akan menjadi Rp 1. Sedangkan uang Rp 100.000 akan menjadi Rp 100. Dengan catatan, meski angka nominalnya berbeda, namun nilai uangnya tetap sama.

Redenominasi ini diusulkan untuk menyederhanakan pecahan uang Rupiah yang nilainya sudah sangat kecil jika dibandingkan dengan mata uang dolar AS (USD) yang menjadi mata uang internasional. Selain itu, redenominasi juga dimaksudkan untuk menyederhanakan perhitungan dalam akuntansi.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, sosialisasi publik terkait rencana redenominasi akan dilakukan pada Januari dan Mei 2013. Menurut dia, sosialisasi sangat krusial agar publik/masyarakat faham betul mengenai redenominasi. "Jangan sampai nanti dikira sanering (pemotongan mata uang, Red)," ucapnya.

Sementara itu, Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Supriyanto mengatakan, redenominasi akan banyak membawa manfaat. Misalnya, mempermudah pelaksanaan transaksi, khususnya transaksi elektronik. "Redenominasi membuat transaksi lebih praktis dan efisien,"  ujarnya dalam acara Internalisasi Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah 'Redenominasi Bukan Sanering' kemarin.

Menurut Agus, denominasi Rupiah yang besar seperti saat ini berdampak pada inefisiensi perekonomian, antara lain waktu dan biaya transaksi yang cukup besar, kebutuhan pengembangan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai pada masa mendatang memerlukan biaya yang signifikan, serta peningkatan biaya pengadaan uang baru dengan pecahan yang lebih besar untuk mengakomodasi kebutuhan pembayaran tunai yang semakin meningkat.

Selain itu, banyaknya digit angka Rupiah juga memicu kendala teknis. Misalnya, keterbatasan alat transaksi sehari-hari seperti argo taksi, mesin kasir, dan pompa bensin. Ada pula  keterbatasan beban penyimpanan dan pengolahan data statistik, serta keterbatasan kapasitas penyelenggaraan sistem pembayaran nontunai seperti sistem anjungan tunai mandiri (ATM), sistem kartu kredit, dan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS). (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggaran Kementerian BUMN Terkecil, Terserap 81 Persen

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler