jpnn.com, JAKARTA - Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) mendesak pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan mengatasi karut-marutnya perusahaan setrum negara tersebut. SP PLN menuding manajemen perseroan tidak profesional dalam mengelola perusahaan dan bahkan sudah sampai tahap salah urus. Hal itu ditunjukkan dengan berbagai kebijakan direksi yang blunder sehingga membuat beban PLN semakin berat.
Ketua Umum SP PLN, Jumadis Abda dalam siaran persnya, Rabu (4/12) mengatakan salah satu bentuk kebijakan yang dianggap ngawur adalah kebijakan take or pay, program 35.000 MW yang tetap dilanjutkan padahal pasokan listrik sudah surplus. Biaya operasional PLN mencapai ratusan triliun. Sementara akibat pasokan yang berlebihan dan skema take or pay diberlakukan maka kelebihan pasokan tersebut tetap harus dibayar oleh PLN.
BACA JUGA: Serikat Pekerja PLN Berencana Melakukan Mogok Kerja
Dengan kondisi ini secara otomatis akan menggerus keuangan PLN. Terbukti hingga triwulan III 2018 lalu kerugian yang dialami PLN mencapai Rp18,48 triliun. Diyakini kerugian PLN akan semakin membengkak hingga akhir tahun ini lantaran tidak ada kenaikan tarif PLN.
Jumadis Abda menegaskan pihaknya sudah mengingatkan sejak lama terkait kebijakan-kebijakan direksi yang salah tersebut. Bahkan surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada September 2017 yang mengingatkan agar PLN berhati-hati dalam mengelola keuangan perseroan. Namun nyatanya direksi tidak memperhatikan dan justru terus memberlakukan kebijakan- kebijakan menyimpang tersebut.
BACA JUGA: PLTU Sintang 21 MW di Kalimantan Beroperasi
“Kami sangat mengkhawatirkan kondisi PLN ini, namun sejak lama kita suarakan tapi tetap saja. Oleh sebab itu kita minta Presiden untuk mengganti direksi PLN yang membuat PLN semakin terpuruk serta menderita kerugian besar. Jangan berlarut-larut sebab kedepan akan membebani masyarakat," kata Jumadis.
Lebih lanjut, Jumadis mengatakan dominasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan dalam program 35.000 MW dianggap satu kebijakan yang paling absurd. Padahal kebutuhan riil sesuai hitungan hanya sekitar 20.000 MW. Artinya PLN harus menanggung kelebihan produksi dari swasta tersebut yang dibayar dalam mata uang dolar. Parahnya lagi akibat penggunaan dolar yang berlebihan membuat nilai tukar rupiah semakin terpuruk dan mendorong defisit transaksi berjalan semakin melebar.
BACA JUGA: Pengakuan Terdakwa Suap PLTU Riau soal Permintaan Dirut PLN
"Apa yang kita sampaikan sebelumnya sekarang sudah terlihat dan terbukti, kondisi keuangan PLN semakin tidak menentu. Kalau waktu itu kita didengar mungkin keadaannya tidak seperti ini," kata dia.
Kebijakan lain yang dinilai SP PLN menyimpang adalah tidak dijalankannya kesepakatan berupa perjanjian kerja bersama (PKB) terutama terkait dengan hubungan industrial dengan pekerjanya. Seperti masa pensiun menjadi 46 tahun padahal dalam ketentuan dalam PKB adalah usia 56 tahun. Selain itu adanya kebijakan yang memungkinkan direksi dapat memPHK (pemutusan hubungan kerja) sewaktu-waktu tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
Kebijakan tersebut, lanjut Jumadis dianggap sebagai upaya pelemahan dari internal PLN terutama bagi pekerja-pekerjanya yang dianggap vocal. Dia berharap segera ada perbaikan internal di PLN khususnya dari direksi yang langsung dilakukan oleh Presiden Jokowi. Apabila dalam dua bulan kedepan, tidak ada tindak lanjutnya, SP PLN yang terdiri dari 49 DPD dengan jumlah anggota 35.000 pekerja yang tergabung dalam SP PLN akan melakukan mogok kerja.
"Mudah-mudahan kita tidak sampai jadi mogok kerja karena itu akan merugikan masyarakat juga. Tapi kalau seandainya hal ini tidak diindahkan juga ya kami akan gunakan hak kami yang dilindungi Undang-Undang untuk mogok kerja 7 hari," pungkasnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wulan Guritno Panik ada Kebakaran di Dekat Rumahnya
Redaktur & Reporter : Friederich