jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala Delegasi W20 Indonesia Jessica Natalia Widjaja menjadi pembicara dalam dalam Forum Internasional OECD.
Acara bertema 'Meningkatkan Standar: Kebijakan yang Lebih Baik untuk Kesetaraan Gender' itu diselenggarakan pada 14 Maret 2022 di Paris.
BACA JUGA: Sri Mulyani Berbagi Kabar Baik soal Pendapatan Negara, Alhamdulillah
Dalam materinya, Jessica menyampaikan dasar-dasar kesetaraan gender, pajak, dan kebijakan pajak bertujuan untuk memeriksa kesetaraan akses bagi perempuan ke pasar tenaga kerja serta peluang pertumbuhan.
"Jadi, selain kode pajak, kami harus mempertimbangkannya dari sudut pandang masyarakat. Ada empat poin penting tentang dimensi peran perempuan dalam perpajakan, antara lain bahwa pemerintah tidak membedakan perlakuan perpajakan antara laki-laki dan perempuan," kata Jesicca.
BACA JUGA: Sri Mulyani Bicara Konflik Rusia-Ukraina, Sebut Soal Perlombaan
Dia menjabarkan perbedaan yang terjadi ketika perempuan memiliki keluarga dan ikut bekerja, suami dan istri melaporkan pajaknya masing-masing.
"Dimensi kedua dari peran perempuan dalam perpajakan adalah dimensi dampak. Dari dimensi kebijakan publik, setiap penambahan tarif memiliki dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki perilaku kepekaan yang berbeda terhadap tarif pajak!" ungkap Jessica.
BACA JUGA: Angelia Rizky Suarakan Kesetaraan Gender, Antidiskriminasi di Dunia Kerja
Kemudian, dia juga menjelaskan tentang dimensi ketiga mengenai peran perempuan dalam perekonomian.
"Untuk meningkatkan peran perempuan dalam perekonomian, maka pemerintah membangun infrastruktur yang bertujuan untuk meringankan beban perempuan, seperti air bersih, jaringan listrik, jalan, akses internet, yang semuanya dibangun melalui uang pajak," paparnya.
Jessica menambahkan dimensi keempat merupakan dimensi gender dalam kebijakan publik dan belanja publik.
"Dimensi gender sangat penting dalam membantu masyarakat karena kondisi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan dan laki-laki berbeda. Seperti program-program bantuan sosial yang memang dirancang untuk diterima oleh perempuan karena perempuan pada umumnya mengatur bantuan ini secara prioritas untuk mengurus rumah tangganya," tutur penulis buku berjudul 'Kalbu Indonesia' itu.
Ketua The Grandeur Center Indonesia itu menyebut perempuan secara global lebih mungkin hidup dalam kemiskinan daripada laki-laki.
"Mereka dibayar lebih sedikit, mereka memiliki lebih sedikit, mereka melakukan lebih banyak pekerjaan secara keseluruhan, dan kemiskinan dan diskriminasi meningkatkan eksposur mereka terhadap risiko kekerasan. Pada saat yang sama, perempuan dan anak perempuan miskin menanggung beban pemotongan belanja pemerintah yang terjadi di negara maju dan berkembang." ucap Jessica.
Dia juga mengatakan, dalam kebanyakan kasus, pemotongan pengeluaran ini bisa dihindari jika pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi penyalahgunaan pajak oleh perusahaan dan orang-orang kaya, seperti berkomitmen untuk mengenakan pajak dengan tarif yang lebih tinggi kepada mereka.
"Sebaliknya, baik perusahaan kuat dan individu kaya menekan Negara untuk mengurangi beban pajak mereka sendiri atas nama 'efisiensi' dan 'persaingan', dan untuk melestarikan sistem global di mana aliran keuangan internasional, keuntungan besar dan kekayaan pribadi yang besar diperbolehkan," katanya.
Jessica berharap pemerintah bisa membuat kerangka kebijakan dan inisiatif pertumbuhan strategis dengan menciptakan dan memperbarui kerangka kebijakan menyeluruh untuk mendukung kewirausahaan perempuan, termasuk sektor-sektor yang paling terpukul oleh pandemi.
Pemerintah juga diharapkan untuk mengembangkan strategi yang bisa ditindaklanjuti dengan pendanaan untuk mengatasi kesenjangan dalam ekosistem kewirausahaan dengan layanan dukungan inovatif dan menciptakan insentif untuk mendanai sektor-sektor inovatif yang siap tumbuh. (mcr9/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sri Mulyani dan 3 Lembaga Dunia Optimistis Ekonomi Tumbuh Pesat
Redaktur : Budi
Reporter : Dea Hardianingsih