Sri Sultan Minta Frasa "Istri" Dihapus

Jumat, 18 November 2016 – 08:45 WIB
Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X menghadiri sidang uji materi Undang-undang tentang Keistimewaan DIY di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/11/2016). Foto: IMAM HUSEIN/JAWAPOS

jpnn.com - JAKARTA – Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan keterangan dalam sidang judicial review pasal 18 ayat (1) huruf M UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) di Mahkamah Konstitusi kemarin (17/11).

Sultan meminta ketentuan syarat gubernur DIJ berjenis kelamin laki-laki dihapus.

BACA JUGA: Empat Aktivis HMI Dilepaskan dari Tahanan

Dia menilai, urusan apakah yang menggantikan kepala daerah itu laki-laki atau perempuan menjadi hak internal keraton.

”Proses penggantian kekuasaan terhadap takhta kerajaan menjadi kewenangan otonomi raja sebagai pemegang kekuasaan pembentukan paugeran,” ujarnya saat memberikan keterangan.

BACA JUGA: Pak Jokowi, Tolong Temui Pak SBY Juga Ya

Uji materiil terhadap UU itu dilakukan delapan warga Jogja yang merasa dirugikan norma di pasal tersebut.

Dalam pasal itu disebutkan, calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup.

BACA JUGA: ICW Berikan Rapor Merah Buat Jaksa Agung, Ini Datanya..

Yang jadi polemik adalah perincian isi daftar riwayat hidup. Yakni, harus meliputi riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Oleh pemohon, frasa ”istri” dalam pasal tersebut dinilai ambigu dan inkonstitusional.

Sebab, secara tidak langsung telah membatasi adanya kemungkinan perempuan dipilih sebagai gubernur.

Itu dinilai bertentangan dengan konstitusi yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin.

Ditemui seusai sidang, Sultan meminta agar frasa ”istri” dihapus.

Kalaupun itu tidak dihapus, harus ada kalimat tambahan. ”Kalau tidak dihilangkan, ya ditambah suami atau istri,” imbuhnya.

Saat ditanya apakah hal itu disebabkan tidak ada anaknya yang berkelamin laki-laki, orang nomor satu di bumi Jogja tersebut membantah.

Sebab, bukan hanya frasa ”istri”, frasa ”saudara kandung” juga dinilainya bermasalah.

Sebab, frasa tersebut bisa menghalangi sosok yang tidak memiliki saudara kandung.

Dalam persidangan, dia menyampaikan kekhawatirannya tentang potensi kekisruhan di Jogja.

Sebab, terancamnya kedaulatan keraton karena terseret urusan internal yang bisa melebar di luar keraton.

”Yang tentunya bisa memancing kekisruhan, baik dari dalam maupun dari luar keraton itu sendiri, yang mengancam eksistensi kesultanan dan kadipaten,” jelasnya.

Sementara itu, Nono Sampono yang merupakan perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan penyusun UU mempertanyakan legal standing para pemohon.

Menurut Nono, delapan pemohon tidak memiliki kedudukan sebagai pihak yang dirugikan dengan ketentuan pasal tersebut.

Menyangkut substansi gugatan, Nono menilai, pasal tersebut bukanlah persoalan lantaran sudah ada mekanisme jika Sultan Hamengku Buwono tidak memenuhi syarat.

”DPRD DIJ menetapkan Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur. Adipati Paku Alam-lah yang bertakhta sekaligus melaksanakan tugas gubernur sampai dengan dilantiknya Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai gubernur,” tuturnya.

Kalaupun keduanya tidak memenuhi syarat, lanjut dia, pemerintah bisa mengangkat pejabat gubernur.

”Tentunya setelah mendapat pertimbangan kesultanan dan kadipaten sampai dilantiknya Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai gubernur,” ujarnya. (far/c10/fat)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ihh...Kejati Jatim Nakal Ahh! Paksa Dahlan Iskan Teken Pelimpahan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler