Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia

Dorong Perempuan Tak Kehilangan Jati Diri, Jaga Rumah Tangga Tetap Awet

Senin, 14 Januari 2013 – 07:46 WIB
Ries Woodhouse (kanan) dan Ida Friggeri. FOTO : PRIYO HANDOKO/JAWA POS
TREN kawin campur antara warga Indonesia dengan orang asing. Untuk mewadahi pasangan gado-gado itu, saat ini terdapat sejumlah komunitas. Di antaranya, Srikandi yang menyebut dirinya sebagai "god mother"-nya berbagai organisasi serupa di tanah air.
---------
Priyo Handoko, Jakarta
--------     
Tiga belas tahun lalu, sejumlah ibu bersuamikan pria asing yang anak-anaknya bersekolah di Jakarta International School (JIS) saling curhat. Berangkat dari latar kehidupan rumah tangga yang mirip, para ibu pasangan kawin campur (mixed marriage atau mixed couples) itu termotivasi untuk saling berbagi pengalaman dan dukungan secara lebih teroganisir.

Dalam tahun-tahun berikutnya pemikiran ini mulai dikonkretkan dengan menggelar coffee morning. Sampai akhirnya pada 2000, resmi dibentuk perkumpulan wanita Indonesia dalam perkawinan antar-bangsa yang kemudian disebut Srikandi. Nama Srikandi dipilih karena dianggap mencerminkan ke-Indonesiaan.     

"Srikandi hadir untuk memberikan support kepada perempuan Indonesia yang melakukan pernikahan campuran dalam membina rumah tangga mereka. Biar langgeng," kata Ries Woodhouse, salah seorang pendiri Srikandi saat berbincang dengan Jawa Pos di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Selasa lalu (8/1). Ida Friggeri, pengurus Srikandi, ikut duduk di sebelah Ries.

Srikandi secara rutin menggelar kegiatan. Selain seminar, Srikandi mengadakan forum diskusi bagi para anggotanya. Banyak materi yang dibahas. Di antaranya, bagaimana jati diri perempuan Indonesia dalam membina rumah tangga dengan suami asing. Termasuk soal pilihan cara dalam membesarkan anak.     

Srikandi juga memberikan support informasi dan pengetahuan kepada orang-orang yang akan menikah dengan orang asing. Mulai persiapan mental, surat-surat, dan berapa biayanya. Termasuk penjelasan status kewarganegaraan anak-anaknya nanti.     

Meski begitu, Ries menolak kalau Srikandi diposisikan seperti lembaga konsultan yang pekerjaannya memberikan advice. "Menikah dengan orang asing itu pilihan kita sendiri. Motonya kan dari kita untuk kita," sambung Ries, lantas tersenyum. Sejak awal pendiriannya, Srikandi lebih memusatkan diri sebagai organisasi yang bersifat kekeluargaan. Mereka tidak terlalu menaruh perhatian pada advokasi hukum dan politik.     

Belakangan baru muncul organisasi serupa yang lebih "agresif". Di antaranya, Indo-Mixed Couples (Indo MC) yang membangun jaringan melalui mailing list dan berpusat di Prancis.

Kemudian Couples of Cross Culture Club (C4), organisasi perempuan asing yang bersuamikan orang Indonesia. Selain itu, Dialog Antar Bangsa (Diana) yang khusus beranggotakan perempuan Jerman yang menikah dengan orang Indonesia.     

Dari komunikasi yang terus berjalan, semua organisasi ini, termasuk Srikandi, memutuskan membentuk payung yang lebih besar dengan nama Aliansi Pelangi Antar-Bangsa (APAB) pada 2002. Melalui APAB inilah isu status kewarganegaraan mulai digarap secara lebih serius. Terutama soal status kewarganegaraan anak yang diperoleh dari hasil kawin campur.     

Bahkan, mereka ikut aktif terlibat mendorong pembahasan RUU Kewarganegaraan sampai berhasil disahkan DPR pada 2006. "Srikandi bergerak dengan membantu fund rising, bikin bazar. Uangnya lalu disetor ke APAB yang perlu dana untuk kampanye dan lobi RUU Kewarganegaraan," cerita Ries.

Setahun sebelum disahkannya RUU Kewarganegaraan, berdiri organisasi Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati) yang langsung menyatakan berafiliasi dengan APAB.

Tapi, KPC Melati lebih fokus memperjuangkan status dwi kewarganegaraan. Pada 2008, muncul lagi organisasi Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca). Para anggota KPC Melati dan Perca umumnya merepresentasikan golongan muda, sekitar 30-an atau 40-an tahun. "Cikal bakal semua organisasi itu digerakkan Srikandi. Kami ini ibaratnya god mother," canda Ida Friggeri yang langsung disambut anggukan kompak Ries.     

Ries menceritakan, dirinya sering dihubungi perempuan yang bercita-cita menikah dengan pria asing. Para perempuan itu, kata Ries, bertanya bagaimana mendapatkan pria asing. Pertanyaan yang membuatnya terkesan menjadi "biro jodoh" seperti itu tentu sulit untuk dijawab. Selain motif antar-perempuan tidak sama, Ries percaya proses itu seharusnya berjalan alamiah. "Minat kawin campur ini sangat menarik. Tidak semua hanya jatuh cinta. Di luar itu, ada motivasi ekonomi atau kepuasan pribadi," kata Ries.

Perempuan yang tengah jatuh cinta dengan pria asing sekalipun disarankan untuk benar-benar menyelidiki profil calon suaminya. Mulai latar belakang kehidupan, masa kecil, pendidikan, dan keluarga.

"Kalau sudah ke luar negeri, ikut tinggal di negara orang, jangan harap ada teman, nenek, kakek, atau sepupu, yang bisa langsung ditelepon dan memberi bantuan kalau lagi ada masalah," tuturnya.     

Dia mengisahkan pada 2000, dirinya ikut tinggal suami di Genewa. Ketika itu, Ries mendapati kasus seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asal Tunisia tapi berkewarganegaraan Swiss. Pria Swiss ini bertemu si perempuan Indonesia saat naik KA Bima dari Jakarta ke Surabaya pada 1990-an. Si perempuan kebetulan pramugari kereta.

Singkat cerita, keduanya menikah dan langsung tinggal di Swiss. Ternyata setelah diboyong ke Swiss, sang istri tidak boleh bergaul ke luar rumah. Bahkan, dia hanya boleh memasak dengan bahan-bahan makanan yang dibelikan suaminya. Anak-anaknya tidak boleh memakai bahasa Indonesia dan dilarang pulang ke tanah air.

"Si istri ini tidak boleh bikin makanan Indonesia karena dianggap bau, terutama sambelnya," kisah Ries. Karena tak kuat menahan derita batin selama bertahun-tahun, si perempuan Indonesia ini akhirnya kabur dari rumah sampai akhirnya kasus tersebut ditangani Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Jenewa.

Selain latar belakang, Ries menyarankan kepada setiap orang Indonesia yang berencana menikah dengan warga asing untuk membicarakan rencana kehidupannya setelah menikah. Kelihatannya remeh, tapi justru ini sangat penting.

Misalnya, di mana akan tinggal setelah menikah, gaya hidup apa yang akan dijalani -apakah separo barat, separo timur, atau memilih salah satunya. Kemudian nanti kalau tua menetap di mana, termasuk anak-anaknya akan ikut agama apa, dan bagaimana pendidikannya. "Jangan hanya cinta"cinta"cinta, kalau sudah menikah fakta yang berbicara," tegasnya.     

Ries kembali mencontohkan ada kasus seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan orang Prancis. Setelah menikah perempuan ini ikut suaminya ke Negeri Menara Eiffel itu. Setibanya di sana, perempuan ini kaget. Untuk tempat tinggal memang disediakan suaminya. Tapi, dia ternyata harus bekerja untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Padahal suminya kaya. "Intinya, kalau sudah benar-benar nyambung, baru boleh kawin. Jangan cuma dibuai cinta," kata Ries.

Bagi orang yang sudah pernah tinggal di luar negeri, biasanya cukup peka dengan hal-hal "teknis" seperti ini. Tapi bagi yang lahir dan besar di Indonesia, umumnya kurang peduli. "Kawin campur dengan orang asing jangan dianggap sama kayak kawin lintas suku," kata ibu empat anak yang lahir di Solok, Sumatera Barat, 20 Maret 1950, itu.

Suami Ries yang bernama belakang Woodhouse adalah orang Inggris yang datang ke Indonesia pada 1969. Berusia 21 tahun, Woodhouse bekerja di Voluntary Service Overseas (VSO) -lembaga internasional yang berkantor pusat di Inggris.

Pertemuan pertama Ries dengan Woodhouse terjadi tiga tahun kemudian di bis kota. Ketika itu, Ries berusia 22 tahun dan berkerja sebagai receptionist Hotel Indonesia. "Beberapa minggu kemudian ketemu lagi di HI. Sekitar 5 bulan kemudian langsung menikah. Nggak ada romatisnya," kisah Ries, lantas tersenyum.    

Setelah menikah pada 1973 itu mereka sekeluarga pindah ke Semarang karena suami ditunjuk menjadi perwakilan Unicef di Kota Lumpia itu. Hanya setahun, suami Ries lalu berpindah-pindah negara. Mulai Burma (Myanmar), Pakistan, Zimbabwe, Jordania, New York (AS), lalu Vietnam. Pada 1995 kembali ke Jakarta sebagai perwakilan Unicef di Indonesia.

Ke manapun suami bertugas, Ries dan anak-anaknya ikut. "Terus berpindah negara setiap 3-4 tahun. Memang berat. Tapi pendidikan tidak begitu sulit, ada International School di mana-mana," kenangnya.     

Tempat tugas suami yang terakhir sebelum pensiun adalah Jenewa. Mereka tinggal di sana mulai 2000. Pada 2004, mereka balik lagi ke Jakarta. "Menikah sama orang asing itu harus siap mental. Jangan menginginkan suami ikut kita atau istri ikut kita sepenuhnya. Kita harus siap ketemu di tengah-tengah," tutur Ries.

Dia mencontohkan, meskipun suaminya masuk Islam, tradisi Christmas tetap tidak bisa hilang. Jadi setiap tahun, mereka masih merayakannya walau sebatas memanggang kalkun dan makan bersama. "Kenang-kenang saja, tidak dari aspek agama," katanya. Saat ini, tak kurang dari 400-an perempuan kawin campur tercatat menjadi anggota Srikandi.

Ida Friggeri menuturkan banyak pasangan kawin campur gagal membina kelanggengan keluarga karena tidak siap mental. Bagi pasangan yang menjalin asmara di Indonesia biasanya segala sesuatu terasa serba manis di awalnya. "Maklum di kampung sendiri. Orang asing harus ikut adat istiadat setempat," terang perempuan kelahiran Jakarta, 10 Februari 1955, itu.

Begitu diboyong ke kampong suami di negara asing dengan perbedaan tradisi dan budaya yang tajam, segalanya berubah. Situasinya semakin parah kalau si perempuan ternyata tidak mampu berbahasa lokal secara baik. "Di sini ngomong gado-gado masih bisa. Kalau sudah di sana bagaimana" Makanya banyak terjadi masalah," katanya.

Banyak pula terjadi perkawinan campur dengan motif ekonomi. Sewaktu masih menjadi pegawai kedutaan Indonesia di Prancis, Ida pernah menemui kasus seperti ini. Ada seorang perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, menceraikan suaminya untuk menikah dengan orang Prancis yang bekerja menjadi teknisi dalam pembangunan Bandara Soekarno-Hatta. Tender pembangunan bandara pada 1977 itu ceritanya dimenangkan perusahaan Prancis, Aeroport de Paris.

Perempuan Indonesia itu mengira teknisi dari Prancis itu orang kaya. Memang selama proyek pembangunan, teknisi itu mendapatkan fasilitas lumayan baik dari perusahaannya. Setelah menikah, perempuan tersebut dan ketiga anaknya ikut pindah ke Prancis.

Sampai di sana, mereka ternyata tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur. Kemampuan bahasa juga tidak punya. Akhirnya lari dan minta tolong ke kedutaan. "Kadang-kadang visi-misi kawin campur itu beda banget. Berbeda dengan orang yang lama tinggal di luar negeri. Memang suka sama suka dan tahu sama tahu," tuturnya.

Ida sendiri bersuami orang Prancis, seorang Katolik yang masuk Islam. Setelah lulus kuliah ekonomi di Inggris, Ida langsung ke Prancis pada 1979 untuk belajar bahasa Prancis. Dia kemudian bekerja menjadi staf kedutaan RI setempat dan menikah pada 1984. Karena suami sempat lama tinggal di Maroko, kultur Islam menjadi sesuatu yang tidak baru.

"Saya bilang kalau mau terus kita harus seiman. Jadi aman-aman saja. Bahkan lancar direstui mertua. Alhamdulillah saya membina dia, sampai sekarang sudah haji," katanya.

Sepuluh tahun kemudian Ida dan suaminya mencoba tinggal di Indonesia. "Bagaimanapun tanah air yang memanggil rasa rindu itu selalu ada," ceritanya. Tapi pada 2006, mereka memutuskan kembali ke Prancis.

Meskipun Prancis merupakan negara maju dengan sistem pelayanan publik dan jaminan sosial yang baik, suami-istri itu terlanjur jatuh cinta dengan Indonesia. Akhirnya pada 2008, mereka sepakat menetap di Indonesia sampai sekarang. Mengapa memilih Indonesia" "Suasana kekeluargaan itu penting sekali," jawab Ida. Meski demikian, sampai sekarang suaminya masih berkewarganegaraan Prancis.     

Sebagai pengurus Srikandi, Ida berusaha membagi semua pengalamannya itu. Mulai soal kewarganegaraan, keimigrasian, kesehatan dan psikologi, isu-isu kemandirian perempuan, sampai soal makanan. "Kami sering berkumpul di rumah salah seorang anggota, lalu sama-sama belajar masakan asing. Kadang ada yang nggak tahu kalau di Italia atau Inggris orang itu masaknya nggak pakai minyak goreng dan tidak suka santan," katanya, lantas tersenyum.     

Di Srikandi ada divisi pengajian dan  kerohaniaan yang bernama Annida. "Walaupun bersuami orang asing jangan sampai kita meninggalkan tradisi dan keyakinan. Kalau bisa anak-anak tetap dibina dalam jalur agama yang baik. Jadi ada pegangan," tegas Ida.

Aktivitas lainnya adalah senam yoga dan brain gym. "Ini untuk kontrol emosi dan stres." Pada 26 Januari mendatang, Srikandi akan menggelar acara bertajuk Sing and Dance untuk keluarga. (*/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lulut Wahyudi Kenalkan Indonesia lewat Motor Modifikasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler