Sritex Cuma Salah Satu Korban Badai Besar di Industri Garmen

Selasa, 29 Oktober 2024 – 19:50 WIB
Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, dengan utang mencapai Rp 24 triliun. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, dengan utang mencapai Rp 24 triliun.

Industri garmen dan tekstil tanah air pun dinilai sedang menghadapi badai besar.

BACA JUGA: Tangis Buruh Sritex Pecah Seusai Wamenaker Immanuel Ebenezer Memastikan Tidak Ada PHK

Akibat pailitnya Sritex 20 ribu pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri garmen di Indonesia.

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyebut Sritex adalah salah satu ikon kebanggaan industri tekstil nasional yang tak hanya beroperasi di pasar domestik, tetapi juga dikenal di pasar global.

BACA JUGA: Dinyatakan Pailit, Sritex Buka Suara Terkait Putusan Pembatalan Homologasi

Namun, kasus PHK massal yang dialami oleh perusahaan tekstil besar seperti Sritex mengisyaratkan ada masalah mendalam dalam kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah.

Menurut Nur Hidayat, salah satu kebijakan yang mendapat sorotan adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 (Permendag 8), yang dianggap memukul telak industri tekstil nasional.

BACA JUGA: Agus Gumiwang: Pemerintah Prioritaskan Penyelamatan Karyawan Sritex

Sritex dan beberapa perusahaan tekstil lainnya yang selama ini menjadi penopang ekonomi dan penyedia lapangan kerja kini terancam bangkrut, dan salah satu penyebabnya adalah banjirnya produk tekstil impor yang harganya jauh lebih murah.

"Dampaknya begitu terasa, banyak perusahaan yang mengurangi produksi, bahkan harus melakukan PHK besar-besaran untuk bertahan hidup. Permendag 8 sebenarnya dimaksudkan untuk mengatur kebijakan impor agar lebih terstruktur," ujar Nur Hidayat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (29/10).

Namun, dalam praktiknya, aturan ini membuka keran impor yang terlalu lebar, terutama bagi tekstil murah dari China.

"Dengan akses mudah bagi produk impor yang berharga lebih rendah, produk lokal sulit bersaing," ucap Nur Hidayat.

Nur Hidayat mengungkapkan biaya produksi di Indonesia yang lebih tinggi membuat produsen tekstil dalam negeri tertekan, sementara produk impor yang lebih murah membanjiri pasar.

Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang berjatuhan karena kesulitan menekan harga hingga level yang kompetitif dengan produk asing.

Pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan ini, terutama bagian-bagian yang membuat produk impor lebih mudah masuk tanpa batasan kuota atau persyaratan khusus.

Jika ini dibiarkan, produsen tekstil lokal yang kesulitan bersaing akan terus bertumbangan. Tidak hanya Sritex yang mengalami kesulitan; banyak produsen lain dari skala kecil hingga menengah juga merasakan dampak yang sama.

"Dalam jangka panjang, ketergantungan pada produk impor akan mengancam keberlangsungan industri tekstil nasional, yang seharusnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia," ungkap Nur Hidayat.

Dia menegaskan pandangan Permendag 8 "membunuh" industri tekstil memang cukup beralasan. Produk tekstil impor yang terus berdatangan telah menekan harga di pasar lokal, dan perusahaan dalam negeri dipaksa menurunkan harga agar bisa bersaing.

Nur Hidayat menjelaskan bagi perusahaan yang sudah besar seperti Sritex, masalah ini berujung pada keputusan yang sulit, seperti PHK massal atau bahkan kebangkrutan.

"Untuk perusahaan tekstil kecil, dampaknya lebih cepat dirasakan, karena mereka tidak memiliki modal besar untuk menutupi kerugian atau meredam tekanan pasar. Akibatnya, pengusaha kecil dan menengah di sektor ini semakin sulit bertahan," katadia.

Namun, Permendag 8 bukan satu-satunya masalah yang dihadapi industri tekstil nasional. Tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku, menjadi tantangan berat bagi para produsen lokal. Di negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi tekstil jauh lebih rendah.

Hal ini memberi keuntungan bagi produk mereka di pasar global, sementara produsen lokal Indonesia harus mengeluarkan biaya tinggi, membuat harga produk mereka tidak kompetitif.

Pemerintah bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan memberikan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil, sehingga mereka bisa lebih bersaing di pasar.

Selain biaya produksi, industri tekstil dalam negeri juga menghadapi masalah dalam akses ke bahan baku berkualitas. Banyak perusahaan terpaksa mengimpor bahan baku karena kualitas bahan baku lokal sering kali tidak memenuhi standar.

"Untuk mengatasi ini, pemerintah bisa membantu mengembangkan industri bahan baku dalam negeri atau memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal agar perusahaan tekstil tidak terlalu bergantung pada impor bahan baku," pungkas Nur Hidayat.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler