jpnn.com, JAKARTA - Pegiat Front Anti-Komunis Indonesia Saputra mengingatkan Pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap Vietnam dalam penentuan batas antara kedua negara. Menurut dia, Vietnam menggunakan cara ilegal dan mata-mata pencuri data yang berpotensi merugikan kedaulatan NKRI, terutama di sektor maritim.
Saputra mengungkapkan Vietnam mencuri informasi rahasia dari pihak Indonesia dalam rangka perundingan Perjanjian Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Indonesia dan Vietnam telah menyepakati batas ZEE antara kedua negara pada Dsember 2022, serta menggelar tiga pertemuan teknis untuk membahas peraturan pelaksana turunan kesepakatan tersebut.
BACA JUGA: Pengamat Dorong Pemerintah Segera Ambil Cara-Cara Diplomasi Soal Batas ZEE RI dan Vietnam
Namun, sebelum pertemuan kesepakatan itu, Vitnam diduga mencuri data dari delegasi Indonesia. Saputra membeber informasi itu dengan merujuk sumber dari Vietnam Reform Revolutionary Party atau Viet Tan.
“Menurut sumber dari Vietnam Reform Revolutionary Party, Pemerintah Vietnam melalui penempatan mata-mata dan cara ilegal memperoleh sejumlah dokumen rahasia/informasi penting dari delegasi Indonesia,” ujar Saputra dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (30/7).
BACA JUGA: Soal IUU Fishing, RI Tidak Perlu Berkompromi dengan Vietnam
Saputra menuturkan informasi penting yang bocor ke pihak Vietnam sebelum pertemuan teknis ketiga, antara lain, daftar anggota delegasi, rencana kerja delegasi Indonesia ke Vietnam, dan posisi Indonesia dalam persamuhan yang digelar pada April 2024 tersebut.
“Masih ada beberapa isu yang tertunda dalam Pertemuan Teknis Ketiga antara Indonesia dan Vietnam yang akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan teknis berikutnya, antara lain, aktivitas perikanan, pengelolaan dan eksploitasi LK (landas kontinen, red),” tuturnya.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Beri Keputusan Tepat Terkait Batas ZEE dengan Vietnam
Lebih lanjut Saputra mengatakan pihak Vietnam selama proses perundingan tersebut terus menekan delegasi Indonesia. Vietnam, katanya, juga menolak usulan yang adil dan rasional dari pihak Indonesia.
Walhasil, delegasi Indonesia cenderung berkompromi dengan keinginan Vietnam. “Perlu dicatat bahwa alasan Vietnam selalu mengambil kendali dalam perundingan selama ini ialah melalui cara-cara ilegal untuk memperoleh intelijen penting yang berkaitan dengan posisi Indonesia dalam perundingan PP (peraturan pelaksana, red), agar terlebih dahulu menyiapkan strategi respons pra-perundingan,” ujarnya.
Saputra menambahkan sudah sejak lama Pemerintah Vietnam melaksanakan Operasi IN19 untuk mencuri informasi terkait posisi delegasi Indonesia. Menurut dia, itulah yang menjadi sebab Vietnam selalu mengetahui pertimbangan dan posisi Indonesia sebelum perundingan.
“Berdasarkan intelijen yang didapatkan, Vietnam banyak mengajukan usulan yang tidak masuk akal, tetapi mau tak mau delegasi Indonesia harus menerima, seperti usulan no-anchoring area-nya melampaui peraturan internasional,” ujarnya.
Saputra juga menyoroti usulan lain, seperti keinginan Vietnam tentang penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut, daftar sedentary species yang mencakup demersal species, dan memasukkan fish aggregating devices (FAD) atau rumpon sebagai struktur atau instalasi permanen untuk menangkap demersal species.
“Dengan mengorbankan keuntungan Indonesia, otoritas Vietnam berusaha semaksimal mungkin untuk mempromosikan usulan yang tidak mengikat bagi pihak Vietnam dalam pertemuan ketiga, agar menghindari memenuhi kewajiban dalam perlindungan ekosistem laut, memperluas area penangkapan ikan serta meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral di LK,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Saputra mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan tetap mewaspadai dan mencegah manuver Partai Komunis Vietnam yang berkuasa di republik sosialit tersebut.
“Karena pencurian Vietnam terhadap informasi delegasi Indonesia akan diteruskan secara jangka panjang, sebabkan suasana perundingan yang adil antara kedua negara dihancurkan dan akhirnya dirugikan kepentingan nasional RI,” ujar sumber tersebut.
Dikonfirmasi secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Roy Soemirat menegaskan pemerintah hingga saat ini terus melakukan pembahasan PP Wilayah Tumpang Tindih Yurisdiksi ZEE dan LK dengan Vietnam. Menurut dia, tim teknis dari masing-masing negara terus melakukan negosiasi mengenai PP dan perjanjian ZEE yang sudah ditandatangani oleh kedua negara pada 2022 lalu.
“Pembahasan Implementing Arrangement (PP) ini adalah mandat dari Perjanjian ZEE itu sendiri, dan merupakan suatu kesatuan degann Perjanjian ZEE yang harus diselesaikan oleh kedua negara,” ujar Roy Soemirat, Selasa (30/7).
Soemirat menegaskan penyelesaian PP akan memberikan kepastian hak dan kewajiban kedua negara mengenai wilayah kemaritiman yang saling tumpang tindih. Dengan begitu, kedua negara akan memiliki batasan-batasan yang jelas di area ZEE.
“Penyelesaian PP ini akan memastikan hak dan kewajiban kedua negara di wilayah tumpang tindih dpt dilaksanakan dengan baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut Soemirat menegaskan poin-poin yang dituangkan dalam PP Wilayah Tumpang Tindih Yurisdiksi ZEE dan LK sangat bersifat teknis. Oleh karena itu, Kemlu RI selalu melakukan koordinasi dengan seluruh kementerian terkait untuk mempercepat penuntasan pembahasan PP yang dimaksud.
“Sifatnya sangat teknis sekali, sehingga dalam pembahasannya Kemlu selalu melakukan koordinasi dengan seluruh kementerian pemerintah Indonesia terkait,” ucapnya. (****)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi