Stafsus Menag Yaqut Mengkritik BNPT Soal Pesantren Terafiliasi Gerakan Terorisme 

Kamis, 03 Februari 2022 – 23:46 WIB
Ki-Ka: Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo, Dirjen Pendis M. Ali Ramdhani, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam, Waryono Abdul Ghafur. Foto: Humas Kemenag

jpnn.com, JAKARTA - Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo mengkritisi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut ada 198 pesantren terafiliasi dengan gerakan terorisme.

Dia menilai pernyataan tersebut menimbulkan keresahan, apalagi belum dibuktikan apakah benar itu pesantren yang terdaftar secara resmi di Kemenag.

BACA JUGA: BNPT Beber Data Afiliasi Pesantren dengan Teroris, Kemenag Ungkap Fakta Berbeda

Menurut Wibowo, diperlukan parameter yang sama untuk menyebut sebuah lembaga sebagai pesantren. Undang-Undang Pesantren menurut Wibowo telah menyatakan bahwa sebuah lembaga disebut pesantren jika memenuhi apa yang disebut dengan arkanul ma’had (rukun pesantren).

“Ketika muncul 198 yang terafiliasi kelompok teroris, itu perlu dilihat lagi," ujar dia di Jakarta, Kamis (3/2).

BACA JUGA: Temuan BNPT Sudah Dicek Kemenag, Hasilnya di Luar Dugaan

Dia menyayangkan tren isu pesantren selalu dikaitkan dengan kasus pelecahan seksual, radikalisme dan terorisme. Kalaupun ada kasus seperti itu, kata Wibowo, hanya segelintir dari sekitar 36 ribu pesantren yang ada di Indonesia.

"BNPT jangan hanya jalan sendiri, ikut gandeng Kemenag lah. Tinjau langsung ponpes, pastikan apakah benar atau tidak itu terorisme', radikalisme," ujarnya.

BACA JUGA: PB HMI Desak BNPT Buka Data Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Terorisme ke Publik

Dia menambahkan, hal itu penting karena sumber informasi yang kurang jelas bisa menjadi distorsi dan menyebabkan kekhawatiran di masyarakat

Sementara, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam, Waryono Abdul Ghafur mengungkapkan, rukun pesantren itu ada lima, yaitu kiai yang menjadi figur teladan sekaligus pengasuh yang membimbing santri. Kemudian santri mukim, pondok atau asrama, masjid atau musala, serta kajian kitab kuning.

“Jadi, misalnya sebuah lembaga yang menyebut dirinya pesantren, tetapi ternyata tidak ada kajian kitab kuning, maka tidak terpenuhi rukunnya. Itu tidak bisa disebut pesantren,” terang Waryono.

Selain itu, lanjutnya pesantren juga mensyaratkan pengakuan terhadap Pancasila dan NKRI. Kalau ini tidak punya, jelas tidak bisa disebut pesantren.(esy/jpnn)


Redaktur : Friederich
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler