Stafsus Wapres: Perguruan Tinggi Terbesar pun Salah Kaprah Terapkan PJJ

Rabu, 15 Juli 2020 – 22:05 WIB
Stafsus Wapres Prof M Nasir. Foto: screenshot

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kabinet Indonesia Kerja, Prof M. Nasir menilai pendidikan jarak jauh (PJJ), atau e-learning yang diterapkan perguruan tinggi saat ini salah kaprah.

Perguruan tinggi terbesar dan terhebat sekalipun yang ada di Indonesia, masih belum tepat menerapkan metode pembelajaran ini.

BACA JUGA: Perilaku M Nasir di DPR Telah Mencoreng Wajah Partai Demokrat

"Begitu ada pandemi COVID-19 hampir semua perguruan tinggi break, jatuh mereka. Semua kebingungan. Bagaimana ini caranya melakukan pembelajaran, karena belum pernah menerapkannya," ujar Nasir saat memberikan orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Universitas Terbuka (UT) ke-36 secara virtual, Rabu (15/7).

Dijelaskannya, kebingungan itu karena mereka harus melakukan perubahan kegiatan belajar mengajar (KBM), sesuai dengan kondisi yang baru.

BACA JUGA: Waduh, 64 Kepsek SMP Kompak Ajukan Pengunduran Diri

"Akhirnya mereka mengambillah metode e-learing. Namun setelah itu mereka masih bingung bagaimana membuat metode belajar e-learning yang benar, mereka kesulitan. Karenanya yang terjadi kemudian salah kaprah," lanjut Staf Khusus Wakil Presiden ini.

Letak salah kaprahnya ialah sistem e-learning dianggap sama atau sekedar setara, dengan belajar online atau distance learning.

BACA JUGA: Kominfo Respons Soal Keluhan Mahalnya Paket Data untuk PJJ

Perkuliahan tatap muka 100 persen dibawa ke online learning, dengan durasi yang ketat dan terikat pada jam tertentu. Begitu pula dosen dan mahasiswa juga terikat dengan aturan waktu seperti belajar tatap muka, ditambah lagi dengan tidak ada kesiapan materi untuk pembelajaran e-learning.

"Ini yang terjadi. Karena kebingungan, e-learning hanya sekadar memindahkan metode belajar tradisional ke belajar online. Kan tidak begitu yang benar. Ini salah kaprah terjadi karena tidak siap. Akhirnya bukannya membuat fleksibel dan meringankan tapi malah membuat semuanya terbebani," tambahnya.

Dijelaskannya, e-learning bukan sekadar menggunakan macam-macam tools - yang sebenarnya untuk komunikasi tapi sudah dianggap identik e-learning. 

Dicontohkannya, saat ini nyaris semua sekolah mulai dari perguruan tinggi hingga tingkat dasar, ramai-ramai mengggunakan aplikasi semacam Zoom, WhatsApp, Google Meet, MS Team, Google Classrom dan lainnya.

"Kalau menggunakan itu dianggapnya sudah e-learning, padahal tidak benar.  Itu karena dosen masih terikat pada waktu yang kaku, mahasiswa juga dipaksa mengikuti pelajaran pada jam tertentu seperti lazimnya tatap muka. Ini diperparah lagi teknologi belum siap. Itu yang kita hadapi sekarang," tegasnya.

Lembaga pendidikan di Indonesia harusnya memiliki metode atau suatu platform dalam Learning Management System (LMS) yang diterapkan secara bersama dan konsisten.

Kata Nasir, e-learning itu bukan sekadar memindahkan metode tradisional ke pembelajaran daring. Hal ini bisa dicontoh dari yang diterapkan oleh UT karena sejak awal berdiri universitas ini melakukan pembelajaran jarak jauh.

"Mohon maaf, sekali lagi maaf, universitas besar dan terhebat pun di Indonesia belum bisa menerapkan e-learning secara benar. Hanya UT yang memang sudah menerapkannya sejak awal. Merekalah yang memang sudah siap dan ini mohon ditularkan ke perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya di Indonesia," ujarnya lagi.

Dijelaskannya, dosen-dosen secara umum juga belum paham bagaimana mengajar e-learning karena terbiasa metode tradisional. Belum lagi teknologi tidak mendukung. Ditambah lagi kebingungan bagaimana mengintegrasikan itu semua.

"Sekali lagi ini salah kaprah dan ini terjadi hampir di semua perguruan tinggi, padahal wabah COVID-19 ini sudah sekian bulan melanda. Ini harus kita perbaiki, tidak bisa dibiarkan terjadi dan kita harus bersama membenahinya," katanya.

Seharusnya, lanjutnya, e-learning itu membuat stakeholder seperti dosen, mahasiswa dan mereka yang terlibat di dalamnya menjadi lebih ringan dan fleksibel dalam kegiatan belajar mengajar. PJJ bukan jadi beban seperti yang dikeluhkan saat ini.

"Saat ini yang terjadi e-learning seakan-akan jadi beban yang berat sekali. Ini tidak bisa dibiarkan dan harus dibenahi," ujarnya lagi.

Sementara itu, Rektor UT Prof Ojat Darojat menyatakan PJJ yang telah dilakukan pihaknya tersebar di 34 provinsi dan juga mancanegara. UT memiliki mahasiswa di dalam negeri dan luar negeri yang melakukan KBM secara daring.

"Pandemi COVID-19 membuat metode belajar online itu kini jadi keniscayaan. Semua perguruan tinggi tatap muka sekarang harus menjadikan pembelajaran online dalam jaringan sebagai program strategis di masa depan," ujarnya.

Pandemi COVID-19  harus membuat perguruan tinggi lebih tangkas menghadapi perubahan. Program Kampus Merdeka memberi ruang bagi perguruan tinggi konvensional dan perguruan tinggi dengan pembelajaran jarak jauh untuk berinovasi dan sinergi.

"Tantangan kami sekarang ini adalah bagaimana untuk terus mengembangkan kualitas SDM berkelanjutan yang terintegrasi teknologi dalam pedagogik," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler