JAKARTA - Dunia medis Indonesia saat ini sedang mengkaji perubahan standar pemberian obat antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV-AIDS. Selama ini, ARV diberikan kepada masyarakat positif HIV-AIDS dengan kondisi sel CD4 kurang dari 350 sel/mm3. Saat ini ketentuan tersebut sedang dikaji untuk ditingkat menjadi CD4 kurang dari 500 sel/mm3.
Peningkatan standar tersebut merujuk pada sistem yang sudah dijalankan di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat. Di negeri paman Sam itu, pemberian ARV sudah dijalankan kepada masyarakat positif HIV-AIDS dan CD4 kurang dari 500 sel/mm3.
"Arah kita memang ke situ, tetapi masih menunggu perkembangan lebih lanjut," kata Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI) Prod Dr dr Samsuridjal Djauzi, SpPD, K-AI, FINASIM, FACP di Jakarta kemarin (30/6).
Peningkatakan standar CD4 sebagai rujukan pemberian obat ARV kepada masyarakat positif HIV-AIDS itu bukan tanpa alasan. Seperti diketahui, semakin besar tingkat SD4 seseorang, maka semakin baik tingkat kekebalan tubuhnya.
Dengan meningkatan kadar CD4 sebesar 500 sel/mm3 itu, maka bisa semakin memperbesar peluang mengobati penderita HIV-AIDS. Selain itu, upaya ini juga bisa mencegah penularan HIV-AIDS dengan lebih efektif.
Samsuridjal mengatakan perubahan standar pemberian ARV tersebut bisa berdampak pada pendanaan oleh negara. Selama ini, dia mengatakan pemerintah menganggarkan Rp 120 miliar per tahun untuk menalangi pembelian obat ARV kepada masyarakat positif HIV-AIDS.
"Jika standar CD4 tadi dinaikkan, tentu bisa berdampak pada pendanaan," kata dia. Sebab, penederita HIV-AIDS yang harus mengkonsumsi obat ARV berpeluang semakin besar.
Samsuridjal mengatakan, standar pemberian obat ARV dengan kondisi CD4 kurang dari 350 sel/mm3 merujuk pada standar WHO. Dia menuturkan, standar ini digunakan hampir seluruh negara-negara berstatus negara berkembang. "Termasuk juga Filipina, Thailan, dan Malaysia. Juga kita," ujar guru besar FKUI itu.
Dia menuturkan, peningkatan standar CD4 tadi harus dikaji dengan matang. Selain secara medis, juga perlu pertimbangan politis karena menyangkut anggaran negara. Untuk sementara, jika harus dipaksakan bisa dijalankan dulu di RS pendidikan. "Sifatnya masih penelitian. Bukan kebijakan nasional," pungkasnya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Malaria Sebabkan Resiko Keguguran
Redaktur : Tim Redaksi