Status Tersangka Bertahun-tahun, Indikasi Ada Permainan

Jumat, 03 Mei 2013 – 00:24 WIB
JAKARTA – Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, mengatakan, tidak sedikit kepala daerah mengalami nasib seperti dialami Wali Kota Medan, Rahudman Harahap.

Dimana Rahudman menjadi tersangka sejak 26 Oktober 2010 lalu, kasusnya baru dibuka kembali belakangan ini. Kondisi ini benar-benar menjadikan seorang kepala daerah tersandera, hingga mengganggu proses kerja yang ada.

 “Jadi yang kita temukan itu, banyak kasus yang tidak diselesaikan, tapi diperlambat. Harusnya penegak hukum itu melakukan langkah-langkah sesuai fungsi kerja yang ada. Perlu ada kepastian hukum dan sebaiknya proses yang ada itu dipercepat. Tapi ini malah tidak dilaksanakan,” ujar Abdullah kepada JPNN di Jakarta, Rabu (2/5).

Terhadap kasus Rahudman, menurut Abdullah, patut dipertanyakan. Sebab bukan tidak mungkin dimanfaatkan pihak-pihak tertentu mejadikan seseorang sapi perahan, dengan alasan telah ditetapkan menjadi tersangka.

“Saya kira sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, itu perlu ada bukti yang kuat. Standarnya itu kan minimal dua alat bukti, kalau ini tidak terpenuhi, jangan dilakukan (penetapan,red),” ujarnya.

Secara terpisah, Koordinator Bidang Monitoring Peradilan ICW, Emerson Juntho, sebelumnya juga menyatakan hal senada. Ia menilai sangat mungkin lamanya proses hukum yang melibatkan kepala daerah, dijadikan ajang tawar-menawar antara oknum dari kejaksaan dengan para tersangka.

Menurutnya, apa yang dialami Rahudman saat ini, juga dialami beberapa kepala daerah lain. Semisal Gubernur Kalimantan Awang Faoruk. Kasusnya diketahui sampai saat ini masih terus menggantung, dimana tujuh bulan lebih tetap saja sebagai tersangka. Demikian juga yang sebelumnya dialami Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin.

“Jadi sangat mungkin (dijadikan tawar menawar,red). Kalau kita lihat, kepala daerah itu kan background politiknya kental sekali. Harusnya kasus-kasus korupsi jadi prioritas. Jadi tidak ada alasan menunda-nunda. Kalau menunda-nunda, wajar bila publik menduga ada apa-apanya,” ujar Emerson.

Emerson juga memertanyakan mengapa proses hukum di kejaksaan, tidak sama dengan proses yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahap penetapan tersangka, memang kedua lembaga tersebut, menganut paham harus memiliki dua alat bukti yang kuat. Hanya anehnya, jika di KPK proses selanjutnya berjalan dengan sangat cepat, di kejaksaan justru bisa tertahan hingga bertahun-tahun.

Karena itu Emerson juga menilai perlunya perbaikan hukum yang lebih baik di tanah air, sehingga semua masyarakat benar-benar dapat merasakan manfaatnya. Paling tidak ada kepastian waktu agar masyarakat tidak menjadi bertanya-tanya dan menduga ada permainan di dalamnya.

”Kalau terus menggantung, wajar saja bila saya dan masyarakat lain curiga, ada apa ini, ” tandasnya penuh curiga.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usut Investasi Bodong, Polisi Bantah Disusupi Markus

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler