Stereotip Masih Jadi Hambatan Perempuan Memimpin Perusahaan

Selasa, 08 Maret 2022 – 20:53 WIB
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita menyebut stereotip membuat perempuan sulity memimpin perusahaan. Foto: Tangkapan layar Zoom

jpnn.com, JAKARTA - Sejatinya masalah stereotip dianggap masih menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam mewujudkan mimpinya dalam memimpin perusahaan.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita.

BACA JUGA: Hari Perempuan Sedunia: Ketua DPR Minta Lindungi Wanita dari Pusaran Konflik

Menurut Maya, budaya paternalistik di dunia membuat perempuan dianggap kurang tepat untuk menjadi pemimpin tertinggi dalam satu organisasi.

"Selain masih kentalnya budaya kepemimpinan paternalistik, masalah stereotip juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan," ungkap Maya, Selasa (8/3).

BACA JUGA: Rayakan Hari Perempuan Sedunia, Yura Yunita Unggah Foto Menyentuh ini

Maya mengatakan perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi dirisehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi.

"Perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi," katanya.

BACA JUGA: Begini Saran Rerie untuk Hancurkan Stereotip dan Bias, Perempuan Harus Tahu

Kendati demikian, menurut Maya, anggapan-anggapan seperti itu masih saja dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan baik sadar maupun tidak sadar.

"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," kata Maya dalam acara diskusi Katadata dengan tema "Breaking The Glass Ceiling".

Lebih lanjut, perempuan dihadapkan konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan.

Apalagi di saat pandemi Covid-19, hal itu semakin berat. Karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.

Perempuan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama.

"Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya," ujar Maya.

Dia mengaku sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, dia menegaskan, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan.

Banyak faktor, salah satunya dengan fenomena glass ceiling.

Salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan, yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.

"Kalau kita bicara isu perempuan, masih di bawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.

Meski fenomena glass ceiling terjadi di mana-mana, namun tidak berlaku di lingkungan investree.

Perusahaan fintech ini selalu menerapkan keadilan bagi seluruh karyawannya, baik perempuan maupun laki-laki.(mcr28/jpnn)


Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Wenti Ayu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler