SURABAYA- Ketersediaan gula nasional bertumpu pada musim giling nanti. Sebab, kini stok gula kristal putih khususnya Jawa Timur sebagai sentra produksi sudah menipis. Diperkirakan, hanya cukup sampai musim giling yang dijadwalkan berlangsung bulan depan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Budi Setiawan mengatakan, stok gula kristal putih di pabrik gula terus tergerus. Apalagi, Jatim juga memenuhi permintaan di daerah-daerah luar jawa. Dalam catatan Disperindag stok gula di tingkat PTPN hanya tinggal 55.172.781 kg atau setara dengan 55 ribu ton.
"Sejauh ini persediaan kita masih ada, walaupun juga memenuhi permintaan dari luar jawa yang cukup banyak. Akan tetapi, kita juga mempertimbangkan posisi stok sebelum mengirimkan gula ke luar pulau," ucapnya kemarin (24/4).
Dia menuturkan, stok yang tersedia masih mencukupi untuk kebutuhan sebelum masuk musim giling. Disebutkan, rata-rata konsumsi gula jatim sebesar 35-40 ribu ton per bulan. Sedangkan, pada bulan puasa maupun ketika permintaan sedang meningkat bisa membengkak hingga 50 ribu ton per bulan. Diyakini, menipisnya stok dapat tertutupi pada musim giling nanti.
"Mei nanti kita mulai giling. Dilanjutkan Juni dan Juli, sehingga stok gula mulai bertambah. Jadi, kalau melihat posisi stok sekarang, masih mencukupi sampai musim giling," tutur dia. Kendati stok mulai menipis, lanjut dia, rata-rata harga gula di pasar tradisional cenderung stabil di kisaran Rp 11.040 per kg.
Sembari menunggu musim giling, kalangan petani gula sedang menanti keputusan harga patokan petani (HPP). Apalagi, musim giling sudah makin dekat. Wakil Sekjen Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin mengatakan awal musim giling tebu tahun ini akan dimulai pada bulan depan.
"Ada pabrik gula yang mulai giling awal Mei, tapi ada pula yang pertengahan Mei. Karena itu, kami mendesak pemerintah agar secepatnya menetapkan HPP gula petani," kata dia.
APTRI mengusulkan HPP gula sebesar Rp 9.218 per kg. usulan itu lebih rendah daripada rekomendasi Dewan Gula Indonesia sebesar Rp 8.750 per kg. Dikatakan, terkait usulan itu, pihaknya sudah melakukan penghitungan. Dengan perhitungan produksi tebu per ha (hektar) 1.100 kuintal dengan rendemen 7,2 persen untuk jenis tanaman plane cane ( tanaman tebu pertama) akan menghasilkan besaran HPP sebesar Rp. 9.496/kg. Sedangkan untuk tanaman kedua, ketiga dan seterusnya (ratoon) dengan produksi tebu 900 kuintal/ha dan rendemen 6,8 % akan menghasilkan besaran HPP Rp 8.941/kg.
"Perhitungan tersebut sudah termasuk keuntungan petani 10 persen, sehingga kalau dirata-rata HPP menjadi Rp. 9.218/kg gula. Akan tetapi sebenarnya usulan besaran HPP tersebut blm memperhitungkan kenaikan ongkos produksi (termasuk biaya tebang dan angkut) yang dipicu oleh rencana kenaikan BBM," ungkapnya.
Menurut dia, Kalau rendemen bisa mencapai rata-rata 8,5 persen maka besaran HPP bisa di bawah angka tersebut. Lagi pula saat ini harga eceran gula cukup tinggi yaitu kisaran Rp 11.100-11.400/kg.
"Kalau petani minta HPP 9.218 per kg cukup wajar. Karena dengan HPP tersebut keuntungan petani hanya 10 persen setahun. Zaman orde baru dulu pernah menghitung bahwa harga dasar gula ialah satu setengah kali lipat harga beras. Kalau saat ini harga beras rata-rata Rp. 7.000 per kg, maka harga dasar gula semestinya 10.500 per kg. Sedangkan kami hanya minta Rp. 9.218 per kg," ucapnya. (res/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bea Keluar Tambang Tak Bisa Dipukul Rata
Redaktur : Tim Redaksi