jpnn.com, JAKARTA - Nilai ekspor industri kayu Indonesia dalam beberapa tahun ini tidak menunjukkan kemajuan. Bahkan dari catatan Indonesian Timber Council bisnis ekspor kayu Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2014 hingga 2018.
Penurunan ini, bukan hanya terjadi dari kekurangan persediaan saja, namun juga dari kecilnya kepercayaan pemberi pinjaman akan keberlangsungan usaha ini. Untuk itu, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang diambil dari dana reboisasi, berusaha membangun kepercayaan diri pelaku industri timber dan baik on farm maupun off farm dengan memberikan pinjaman yang dapat diakses melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU – Pusat P2H).
BACA JUGA: Hutan Sosial Dukung Kebangkitan Industri Kayu
Kepala BLU – Pusat P2H Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Isnantio Rahmadi mengatakan pihaknya pun melakukan temu usaha dengan mengundang pengusaha kehutanan off farm di Jawa Tengah untuk menyampaikan program tersebut.
“Tujuannya itu saya ingin melihat prospek BLU ini, apakah sudah menjadi bagian dari solusi dari pengembangan industri kehutanan khususnya yang berbahan baku hasil hutan dari kayu,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (20/9).
BACA JUGA: Ikhtiar Sampoerna Kayoe Memajukan Industri Kayu Olahan Indonesia
Dia menambahkan, dalam pertemuan itu pihaknya bisa mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha. “Apakah industri kayu ini memang masih prospektif, dan mempelajari, mengapa sebenarnya institusi keuangan enggan memberikan kredit kepada jenis usaha ini,” tambah dia.
Badan Layanan Umum (BLU) ini merupakan unit kerja di Kementerian LHK yang bertugas mengelola fasilitas dana bergulir untuk mendukung pembiayaan usaha kehutanan, perbedaannya, usaha ini walaupun menerapkan bunga, namun tidak berorientasi pada keuntungan, adapun bunga yang ditetapkan nantinya berfungsi menjaga eksistensi dana bergulir sebagai bentuk pembiayaan independen (self-financing).
Pada tahun 2019 BLU Pusat P2H menargetkan Pembiayaan Usaha Kehutanan off farm sebesar Rp 150 miliar, keterbatasan pengusaha dalam bermain di industri ini, membuat ruang gerak pengusaha kayu hanya bermain pada on farm atau pada hulu industri seperti penanaman, padahal hilir industri ini atau sering dikenal dengan istilah off farm menjadi lokomotif industri ini dapat tetap berjalan.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono mengatakan Semarang memiliki target pertumbuhan ekonomi hingga tahun 2023 sebesar 7 persen.
“Namun kami ingin menggenjotnya terealisasi di akhir 2020. Salah satu industri yang diharapkan dapat mendorong ekonomi ini adalah industri kayu off farm, saat ini Jawa Tengah memiliki 4.000 pengusaha on farm, dan hanya lima kabupaten yang bermain di bidang off farm, seperti Boyolali, Tegal, Wonosobo, Brebes, Muntilan,” urai dia.
Teguh menyampaikan ada 21 UMKM juga yang telah difasilitasi pembuatan SVLK-nya oleh pemerintah Jawa Tengah, dan ada 24 UMKM yang tengah didekati untuk difasilitasi. Dirinya berharap 21 UMKM yang telah memiliki verifikasi legalitas kayu ini, dapat memperoleh fasilitas dana bergulir ini.
“Jawa Tengah memiliki target meningkatkan usaha-usaha yang ramah lingkungan atau green economy, yang mampu mengurangi beban polusi khususnya perairan di kawasan Bengawan Solo,” tandas dia.(cuy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan