Stres di Tempat Kerja Picu Merokok? Kenali Gejalanya dan Alternatif Mengatasinya

Senin, 28 Oktober 2024 – 18:30 WIB
Psikolog, Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) dengan tema “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental”, Kamis (24/10). Foto: source for jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Tuntutan lingkungan kerja yang tinggi berkorelasi terhadap masalah kesehatan mental. 

Kondisi tersebut berpotensi mendorong seseorang untuk terus melakukan kebiasaan berisiko, salah satunya merokok dengan alasan untuk mengurangi stres

BACA JUGA: Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan 17 Ribu Rokok Ilegal dan Ratusan Smartphone di Bengkalis

Psikolog, Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi menjelaskan lingkungan kerja dengan tekanan yang tinggi memicu seseorang untuk mengalami kesehatan mental, salah satunya stres.

Dia menjelaskan seseorang yang dalam posisi stres akan berusaha mencapai keadaan seimbang dengan melakukan coping mechanism, yakni kebiasaan berisiko untuk kesehatan fisik ataupun mental. 

BACA JUGA: Kadin Jakarta Nilai Izin Kemasan Polos Rokok Elektronik Diskriminatif

Contohnya, makan ketika sedang stres, mengonsumsi kafein hingga menjadi kekurangan tidur, konsumsi alkohol berlebihan, dan kebiasaan merokok

Hal ini disampaikan Sukmayanti saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) dengan tema “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental” pekan lalu yang dikutip, Senin (28/10).

“Bicara soal kesehatan mental itu sesuatu yang tidak sederhana. Itu cukup kompleks. Jadi dibutuhkan adanya edukasi, advokasi, serta koordinasi dengan berbagai sektor. baik publik ataupun swasta, masyarakat, dan tenaga kesehatan,” kata Sukmayanti.

Menurutnya, untuk mengurangi kebiasaan buruk akibat stres di tempat kerja, perlu adanya penguatan literasi terhadap masyarakat mengenai konsep pengurangan risiko dan menerapkan pola hidup yang sehat. 

Contohnya mengonsumsi sayur dan buah, mengurangi konsumsi kopi dengan gula yang berlebihan secara perlahan, maupun beralih ke produk-produk tembakau alternatif bagi pekerja yang kesulitan untuk mengurangi kebiasaan merokok. 

Sukmayanti menyebutkan malau berhenti merokok secara langsung, perokok akan mengalami gejala relapse yakni memunculkan kegelisahan dan membuat seseorang tidak bisa berkonsentrasi. 

“Oleh sebab itu, perlu mengurangi kebiasaan berisiko tersebut secara perlahan dengan menggunakan produk-produk yang telah terbukti secara ilmiah menurunkan risiko kesehatan seperti rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan sambil terus melakukan konseling dengan psikolog,” jelas Sukmayanti. 

Dalam kesempatan yang sama, Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan Keselamatan Kerja, dr. Felosofa Fitrya, MMR menambahkan sebagian besar waktu produktif orang dewasa dihabiskan di tempat kerja.  

“Ketidakseimbangan beban kerja merupakan penyebab utama burnout. Hasil studi mengungkapkan bahwa pekerja dengan beban kerja tinggi dan high effort-reward imbalance lebih rentan terhadap kebiasaan buruk seperti merokok dan pola makan tidak sehat sebagai pelarian dari stres,” ujarnya.

Felosofa menekankan pentingnya pendekatan pengurangan risiko kesehatan mental di tempat kerja. 

Menurutnya, perusahaan perlu menyediakan layanan konseling gratis seperti program Employee Assistance Program (EAP) untuk membantu karyawan menghadapi tekanan di lingkungan kerja.  

“Ketika konseling dengan karyawan yang mengalami stres tinggi, kami selalu mengajarkan untuk self-healing dengan menyadari napas dan hasilnya cukup positif," pungkasnya.(mcr8/jpnn)


Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler