MATARAM–Menteri Agama Suryadharma Ali memastikan pihaknya terus mencari cara terbaik memberi pelayanan pembuatan akta nikah bagi masyarakat. Dia tak menampik, gratifikasi atau penyuapan masih terjadi saat pengurusan akta nikah itu, sehingga biaya lebih mahal dari seharusnya.
‘’Sulit. Saya pernah ditanya wartawan soal ini. Saya jawab belum ada konsep yang tepat sampai saat ini,’’ kata Suryaharma Ali, di Mataram akhir pekan lalu.
Menurut Suryadharma, faktor ritual agama dan budaya turut andil dalam upaya pihaknya menekan pungutan di luar ketentuan dalam pembuatan akta nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Saat ini, kata dia, pihaknya membolehkan pengurusan akta nikah dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja. Petugas pencatat nikah KUA mendatangi tempat berlangsungnya pernikahan, dan menyelesaikan dokumen akta nikah di tempat.
Kendati itu adalah pelayanan yang baik, Menag mengakui justru cara itu menyebabkan pembuatan akta nikah rentan penyuapan. Nyaris tak ada kontrol, apalagi itu di luar jam kerja.
Itu sebabnya, pihaknya pernah terpikir membuat pengurusan akta nikah hanya dilakukan di kantor KUA dan saat jam kerja. Prosesnya akan sama seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi di kantor polisi. Kemenag pun siap memberlakukan sistem pelayanan cepat.
Belum diujicoba, konsep itu mentah. Pasalnya cara itu justru mendatangkan masalah. KUA akan penuh massa, mengingat tidak ada pernikahan di Indonesia yang tidak dihadiri banyak orang.
‘’Justru kalau misalnya ditetapkan lima menit selesai, maka diyakini akan rentan mencuat gratifikasi karena oknum petugas KUA pura-pura sibuk, dan calon pengantin tidak sabar sehingga berani menyuap. Ini juga tidak baik,’’ ujar Suryadharma.
Karena dua cara itu tetap rentan, pihaknya saat ini kata Menang mengambil posisi melarang aparatnya mematok pembiayaan akta nikah, karena bagian itu dari pelayanan publik.
‘’Kalau pelayanan di luar juga rentan, di kantor juga begitu, bagaimana yang bebas gratifikasi? Itu yang belum ditemukan konsepnya. Karena itu saya tekankan, yang penting tidak ada upaya mematok harga pelayanan publik. Itu yang tidak boleh,’’ katanya.
Biaya pembuatan akta nikah saat ini diatur peraturan daerah di masing-masing kabupaten, dan tergolong retribusi umum. Beda kabupaten, beda tarif. Di Lombok Tengah misalnya, berdasarkan Perda Retribusi Umum No 5/2011, tarif pembuatan akta nikah di KUA sebesar Rp 35.000. Jika di luar KUA, biayanya Rp 60.000.
Faktanya, banyak yang harus membayar lebih dari itu, bahkan pada angka ratusan ribu. Akibatnya di Lombok Tengah yang didiami sedikitnya 700 ribu kepala keluarga, saat ini 80 persen di antaranya tak memiliki akta nikah. (cr-kus)
‘’Sulit. Saya pernah ditanya wartawan soal ini. Saya jawab belum ada konsep yang tepat sampai saat ini,’’ kata Suryaharma Ali, di Mataram akhir pekan lalu.
Menurut Suryadharma, faktor ritual agama dan budaya turut andil dalam upaya pihaknya menekan pungutan di luar ketentuan dalam pembuatan akta nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Saat ini, kata dia, pihaknya membolehkan pengurusan akta nikah dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja. Petugas pencatat nikah KUA mendatangi tempat berlangsungnya pernikahan, dan menyelesaikan dokumen akta nikah di tempat.
Kendati itu adalah pelayanan yang baik, Menag mengakui justru cara itu menyebabkan pembuatan akta nikah rentan penyuapan. Nyaris tak ada kontrol, apalagi itu di luar jam kerja.
Itu sebabnya, pihaknya pernah terpikir membuat pengurusan akta nikah hanya dilakukan di kantor KUA dan saat jam kerja. Prosesnya akan sama seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi di kantor polisi. Kemenag pun siap memberlakukan sistem pelayanan cepat.
Belum diujicoba, konsep itu mentah. Pasalnya cara itu justru mendatangkan masalah. KUA akan penuh massa, mengingat tidak ada pernikahan di Indonesia yang tidak dihadiri banyak orang.
‘’Justru kalau misalnya ditetapkan lima menit selesai, maka diyakini akan rentan mencuat gratifikasi karena oknum petugas KUA pura-pura sibuk, dan calon pengantin tidak sabar sehingga berani menyuap. Ini juga tidak baik,’’ ujar Suryadharma.
Karena dua cara itu tetap rentan, pihaknya saat ini kata Menang mengambil posisi melarang aparatnya mematok pembiayaan akta nikah, karena bagian itu dari pelayanan publik.
‘’Kalau pelayanan di luar juga rentan, di kantor juga begitu, bagaimana yang bebas gratifikasi? Itu yang belum ditemukan konsepnya. Karena itu saya tekankan, yang penting tidak ada upaya mematok harga pelayanan publik. Itu yang tidak boleh,’’ katanya.
Biaya pembuatan akta nikah saat ini diatur peraturan daerah di masing-masing kabupaten, dan tergolong retribusi umum. Beda kabupaten, beda tarif. Di Lombok Tengah misalnya, berdasarkan Perda Retribusi Umum No 5/2011, tarif pembuatan akta nikah di KUA sebesar Rp 35.000. Jika di luar KUA, biayanya Rp 60.000.
Faktanya, banyak yang harus membayar lebih dari itu, bahkan pada angka ratusan ribu. Akibatnya di Lombok Tengah yang didiami sedikitnya 700 ribu kepala keluarga, saat ini 80 persen di antaranya tak memiliki akta nikah. (cr-kus)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dalami Hubungan Subkontraktor Hambalang dengan Choel
Redaktur : Tim Redaksi