Sudah Ada Perppu Kebiri, Pemerkosa Yuyun gimana?

Jumat, 27 Mei 2016 – 16:06 WIB
Para pelaku dan pembunuh Yuyun. Foto: Bengkulu Ekspres/dok.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Perppu tentang perubahan kedua UU Perlindungan Anak yang mengatur tambahan hukuman berupa kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual, tidak bisa diberlakukan untuk kasus-kasus yang baru terungkap. 

Kasus-kasus predator seksual yang terungkap belakangan ini masih akan mengacu aturan lama. Penyidik diharapkan betul-betul bisa memahami Perppu tersebut.

BACA JUGA: Berkat Program Ini Makassar Dapat Penghargaan Inovasi Pelayanan Publik

Perppu nomor 1 Tahun 2016 itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Mei lalu. Artinya, Perppu hanya bisa diberlakukan untuk kasus-kasus yang akan terjadi kemudian. 

’’Itu tidak berlaku untuk kasus Yuyun,’’ ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (26/5).

BACA JUGA: Sopir Sekretaris MA Tiba-tiba Menghilang...

Dia menjelaskan, Perppu tersebut mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dalam aturan hukum, yang berlaku adalah tempus delicti alias waktu kejadian. Kasus-kasus seperti yang terjadi di Bengkulu maupun Surabaya tidak bisa menggunakan Perppu itu sebagai dasar penyidikan. ’’Perkosaan terjadi pada tanggal sebelum 25 Mei itu,’’ lanjutnya.

Bagi Romli, yang terpenting saat ini adalah para penyidik harus diberi sosialisasi dan pemahaman terlebih dahulu. Sehingga, tidak sampai keliru dalam menyidik. Jangan sampai kasus-kasus yang terungkap setelah tanggal 25 Mei langsung menggunakan Perppu. Sebab, belum tentu kasus tersebut terjadi setelah 25 Mei.

BACA JUGA: Sekretaris MA Bantah Terlibat Kasus di KPK

Untuk kasus yang terjadi sebelum 25 Mei, digunakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan pertama UU Perlindungan Anak. UU tersebut mengatur pidana maksimal penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.

Dalam UU tersebut sebenarnya sudah ada pemberatan hukuman dengan menambah sepertiga dari ancaman hukuman yang ada. Namun, itu hanya berlaku bagi pelaku tertentu. Di antaranya, orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, dan tenaga kependidikan. 

Sementara itu, dalam Perppu kali ini, hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik tidak bisa dilakukan kepada semua pelaku. Hanya pelaku dengan klasifikasi tertentu saja yang boleh dikebiri dan dipasangi alat. Pertama adalah pelaku yang berstatus residivis pemerkosa dan pencabulan anak.

Kedua, melihat kondisi korban pascakejadian perkosaan. Di antaranya, korban lebih dari satu, mengalami luka berat, gangguan jiwa, terkena penyakit menular, fungsi reproduksinya terganggu atau hilang, atau korban meninggal dunia. Apabila satu saja dari kondisi tersebut terjadi pada korban, siapapun pelakunya bisa dikebiri dan dipasangi alat deteksi.

Bagaimanapun, kebiri merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokoknya tetap pidana mati. Apabila korban mengalami salah satu dari keenam kondisi tersebut, hakim bisa menjatuhkan hukuman mati. Siapapun pelakunya, asalkan orang dewasa. Sebab, pelaku yang berstatus anak-anak terikat UU Peradilan anak.

Itu artinya, apabila kasus seperti yang terjadi di Bengkulu dan Kediri terulang lagi, pelaku harus bersiap menghadapi regu tembak. Apabila lolos dan hanya dihukum seumur hidup atau 20 tahun, bisa diberi hukuman tambahan. Dapat berupa kebiri kimia atau pemasangan alat pendeteksi elektronik, atau keduanya sekaligus. Identitasnya sebagai penjahat kelamin juga akan dipublikasikan.

Sebagaimana diberitakan, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu nomor 1 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak. 

Dalam perppu tersebut diatur pemberatan hukuman berupa hukuman mati, penjara seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara. Juga, mengatur hukuman tambahan masing-masing publikasi identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. (mia/byu/idr/lum/dyn/bay/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekretaris MA Bantah Terlibat Suap di PN Jakpus


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler