JAKARTA - Tragedi berdarah yang melibatkan etnik muslim Rohingnya dengan etnik beragama Budha di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), Belawan, Medan, Jumat (5/4) dini hari, tak lepas dari kecerobohan pihak Imigrasi.
Staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fisipol, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, Fauzan, menilai, mestinya pihak imigrasi paham bahwa kedua etnis itu memang sudah berkonflik di negaranya sana, Myanmar.
"Apa pun faktor pemicu tragedi yang menewaskan delapan orang itu, kedua etinis ini sudah membawa bibit konflik dari negara asalnya. Mestinya, mereka ditahan secara terpisah," ujar Fauzan saat dihubungi JPNN dari Jakarta, kemarin (6/4).
Diakui Fauzan, memang fasilitas termasuk ruangan rudenim di sejumlah daerah, sangat minim dan sempit.
"Tapi kalau ruangan tidak memungkinkan, mestinya bisa dititipkan ke tahanan lain. Jangan dipasakan berada dalam satu gedung karena itu sangat bahaya. Sekali lagi, kedua etnis itu sudah punya bibit konflik," ujar mantan aktivis mahasiswa di UGM itu.
Mengenai proses hukumnya, lanjut dia, bisa saja tetap ditangani kepolisian RI. Ini karena locus delicti di Indonesia, meski tindak pidana dilakukan oleh warga Myanmar dan korbannya juga warga negara yang penuh konflik itu.
Namun, jika terjadi mediasi antara pemerintah RI dengan pemerintah Myanmar lewat Kedubesnya, bisa saja para pelakunya dideportasi ke Myanmar.
Terlepas dari masalah tersebut, kata Fauzan, Medan memang termasuk jalur idola bagi para imigran gelap, dari negara mana pun, termasuk dari Myanmar. Ini karena pintu perbatasan yang sangat terbuka dan pengawasannya lemah.
Rute para imigran ini, begitu bisa masuk Sumatera, maka akan menuju Jawa. Selanjutnya ke NTT dan melalui Pulau Rote, mereka akan menuju Australia. "Jadi sebenarnya Indonesia itu hanya untuk transit saja, tujuan utamanya Australia," terang Fauzan.
Seperti diketahui, konflik antar agama yang melibatkan umat Budha dan Muslim di Myanmar hingga kini masih berlanjut. Puluhan ribu muslim Myanmar, yang sebagian besar berasal etnis minoritas Rohingya, mengungsi ke sejumlah negara. Di India saja, jumlahnya sekitar 15 ribu.
Etnis Rohingya jumlahnya sekitar lima persen dari sekitar 50 juta warga Myanmar. Etnis minoritas ini sudah puluhan tahun mendapatkan perlakuan diskriminasi dari rezim milietr Myanmar. Rezim sama sekali tidak melindungi etnis ini.
Konflik meletik di 2003, tatkala kedai teh keluarga etnis Rohingya tiba-tiba diserang sekelompok biksu. Mereka marah karena patung Buddha dirusak oleh Taliban di Afghanistan.
Konflik etnis di Myanmar makin kusut lantaran terdapat 11 etnis minoritas yang bersenjata, yang sulit diatasi pemerintah.
"Warga negara Myanmar itu pergi dari negaranya hanya untuk mencari tempat hidup yang nyaman karena di negaranya sendiri tak aman dan terancam," ujar Fauzan. (sam/jpnn)
Staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fisipol, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, Fauzan, menilai, mestinya pihak imigrasi paham bahwa kedua etnis itu memang sudah berkonflik di negaranya sana, Myanmar.
"Apa pun faktor pemicu tragedi yang menewaskan delapan orang itu, kedua etinis ini sudah membawa bibit konflik dari negara asalnya. Mestinya, mereka ditahan secara terpisah," ujar Fauzan saat dihubungi JPNN dari Jakarta, kemarin (6/4).
Diakui Fauzan, memang fasilitas termasuk ruangan rudenim di sejumlah daerah, sangat minim dan sempit.
"Tapi kalau ruangan tidak memungkinkan, mestinya bisa dititipkan ke tahanan lain. Jangan dipasakan berada dalam satu gedung karena itu sangat bahaya. Sekali lagi, kedua etnis itu sudah punya bibit konflik," ujar mantan aktivis mahasiswa di UGM itu.
Mengenai proses hukumnya, lanjut dia, bisa saja tetap ditangani kepolisian RI. Ini karena locus delicti di Indonesia, meski tindak pidana dilakukan oleh warga Myanmar dan korbannya juga warga negara yang penuh konflik itu.
Namun, jika terjadi mediasi antara pemerintah RI dengan pemerintah Myanmar lewat Kedubesnya, bisa saja para pelakunya dideportasi ke Myanmar.
Terlepas dari masalah tersebut, kata Fauzan, Medan memang termasuk jalur idola bagi para imigran gelap, dari negara mana pun, termasuk dari Myanmar. Ini karena pintu perbatasan yang sangat terbuka dan pengawasannya lemah.
Rute para imigran ini, begitu bisa masuk Sumatera, maka akan menuju Jawa. Selanjutnya ke NTT dan melalui Pulau Rote, mereka akan menuju Australia. "Jadi sebenarnya Indonesia itu hanya untuk transit saja, tujuan utamanya Australia," terang Fauzan.
Seperti diketahui, konflik antar agama yang melibatkan umat Budha dan Muslim di Myanmar hingga kini masih berlanjut. Puluhan ribu muslim Myanmar, yang sebagian besar berasal etnis minoritas Rohingya, mengungsi ke sejumlah negara. Di India saja, jumlahnya sekitar 15 ribu.
Etnis Rohingya jumlahnya sekitar lima persen dari sekitar 50 juta warga Myanmar. Etnis minoritas ini sudah puluhan tahun mendapatkan perlakuan diskriminasi dari rezim milietr Myanmar. Rezim sama sekali tidak melindungi etnis ini.
Konflik meletik di 2003, tatkala kedai teh keluarga etnis Rohingya tiba-tiba diserang sekelompok biksu. Mereka marah karena patung Buddha dirusak oleh Taliban di Afghanistan.
Konflik etnis di Myanmar makin kusut lantaran terdapat 11 etnis minoritas yang bersenjata, yang sulit diatasi pemerintah.
"Warga negara Myanmar itu pergi dari negaranya hanya untuk mencari tempat hidup yang nyaman karena di negaranya sendiri tak aman dan terancam," ujar Fauzan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelajar Dua Kali Dihamili Ayah Kandung
Redaktur : Tim Redaksi