Dua kubu ini mudah terpecah dan berseteru bahkan karena masalah sepele. Kesan balas dendam antara TNI-Polri bahkan terlihat dengan mata telanjang oleh publik meski ditutup-tutupi oleh para petinggi-petingginya.
Secara khusus Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala memiliki pandangan tersendiri terkait seteru TNI-Polri.
Apa dan bagaimana pandangan serta solusi dari Adrianus terkait masalah ini? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.com Natalia Laurens bersama Adrianus di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (8/3)
Menurut Anda, apa yang menjadi akar masalah dari peristiwa yang terjadi di OKU?
Saya kira itu tipikal sekali, dalam arti enggak ada bedanya dari dulu. Bermula dari insiden kecil, insiden sepele, lalu kemudian dibawa ke konteks kelompok, dan kemudian, memuncak menjadi kekerasan. Sama saja. Artinya, mereka (TNI-Polri) berpisah sampai sekarang, tidak ada perkembangan modus, motif, itu stagnan, dalam konteks hubungan mereka sejak dulu tidak berubah.
Ini kenapa bisa terjadi? Apa karena Polrinya makin berubah, berubah ke arah yang makin dibenci oleh pihak TNI atau TNI nya yang enggak mau berubah. Kan kita harapkan dengan perpisahan keduanya ini ada yang berubah.
Polri berubah ke arah sipil, sementara TNI menjadi militer yang demokratis, gitu kan. Tapi ternyata Polrinya tidak mengarah ke arah yang sipil, masih pakai gaya para militer, sementara yang pihak TNI, bukan jadi TNI yang demokratis tapi suka main hakim sendiri. Jadi dari dulu sejak berpisah keduanya memang begitu tidak berubah.
Sempat beredar informasi bahwa konflik TNI- Polri ini terjadi karena kecemburuan sosial TNI pada Polri yang lebih sejahtera. Bagaimana pandangan Anda?
Faktor penyebabnya sebenarnya ada tiga, ada yang berada pada level antecedent (peristiwa awal), level predisposisi dan level trigger (pemicu). Trigger itu yang tadi saya sebut sebagai hal pemicu yang ecek-ecek lah. Gara-gara saling senggol atau mengejek satu dengan yang lain.
Nah saya menduga, yang menjadi awal (antecedent) dalam hal ini adalah karena perasaan in group dan out group. Mereka berpikir, dulu mereka adalah adik kita, sekarang tidak. Dulu kita semua adalah kami. Sekarang yangterjadi adalah kami dan mereka.
Persepsi itu terjadi pada dua-duanya, pada polisi begitu, TNI juga begitu. Karena ada eksklusivitas ini lah satu dengan yang lain menganggap pihak yang lain, lebih rendah. Selalu begitu. Itu sudah jadi hukum alam. Untuk predisposisi saya setuju kalau soal adanya kecemburuan sosial. Didukung juga dengan level triggernya dengan masalah sepele itu.
Pada umumnya, kecemburuan sosial seperti apa yang anda lihat terjadi di antara TNI-Polri? Dana kesejahteraan yang lebih besar, atau fasilitas yang didapat?
Soal kecemburuan sosial itu juga bias sebenarnya. Makanya saya juga merasa bahwa wacana itu tidak terlalu penting diikuti karena bias. Untuk contoh, misalnya, kalau kita bicara remunerasi untuk TNI-Polri.
TNI sekarang menerima remunerasi 60 persenan, dari 100 persen untuk salah satu pangkat. Sementara untuk pangkat yang sama Polri hanya terima 15 persenan. Nah ini kan sebenarnya menguntungkan TNI. Tapi itu kan enggak pernah dilihat sebagai hal yang menguntungkan TNI.
Yang dilihat adalah, tuh polri mainannya, tuh lihat Polri tuh, lebih kaya. Padahal coba lihat dulu remunirasinya. Tidak perlu ada kecemburuan. Jadi ada bias sebenarnya yang berawal dari in group dan out group tadi. Lagi-lagi bisa dilihat karena eksklusivitas.
Kembali pada konteks peristiwa OKU, apa yang harus dilakukan TNI-Polri mengingat adanya kesan saling balas dendam antardua kubu?
Kita mau melihat konteks OKU saja, atau konteks OKU sebagai represntasi masalah nasional. Kalau kita konteks OKU sebagai masalah nasional, maka hal-hal tadi itu harus dibahas. Kalau kita bicara konteks OKU saja, saya kira apa yang diomongkan Kapuspenkum TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Suhardi Alius ya cukup. Damai dan kesepakatan lagi antara petinggi. Itu sudah cukup.
Khususnya dari segi Polri, kemarin saya dengar dari penyataan Pak Suhardi soal underestimate. Kalau kita kembali pada kasusnya, Januari lalu ada insiden penembakan anggota Polri terhadap oknum TNI. Setelah itu sudah ada upaya-upaya pihak TNI-Polri untuk mengadakan rekonsiliasi. Lalu setelah itu dianggap sudah selesai dan tenang.
Polri merasa demikian, sudah tenang. Sehingga kedatangan rombongan tentara ke Polres OKU kemarin juga disambut polisi dengan pertanyaan ada apa ini? Karena polisi merasa sudah tidak ada masalah apa-apa. Itulah yang disebut underestimate. Dikiranya sudah tenang ternyata di bawah sana ternyata masih bergejolak.
Lalu, dari underestimate itu apa yang menurut anda terjadi sehingga aksi brutal itu dilakukan sejumlah oknum TNI?
Seharusnya jangan underestimate. Saya bisa bayangkan, si A itu meninggal, (Pratu Ho). Keluarganya mungkin anaknya mungkin pada minggu pertama masih ditemani banyak keluarga kan. Tapi setelah minggu kedua ketgga keempat baru mengeluh kan sendirian tanpa suami. Teman-temannya TNI melihat itu dan mulai merasa kasihan, mulai muncul anggapan bahwa ini gara-gara polisi nih. Ditambah mungkin ada orang ngompor-ngompori jadi lah kondisi itu.
Makanya Polri ke depan jangan hanya anggap apa-apa yang landai itu sebagai jawaban bahwa keadaan sudah tenang. Tapi juga harus lihat eskalasinya. Makanya saya anjurkan kalau ada kasus seperti ini ya disantunilah anaknya, atau istrinya diberikan pinjaman lunak. Karena itu meski darisegi nominal kecil tapi dari segi gema itu besar. Itu menurut saya penting untuk menjaga hubungan antar dua belah pihak.
Kemarin disebut TNI hanya datang berdemo di Polres OKU, lalu menjadi aksi pembakaran dan penyerangan, apa ada indikasi provokator dalam peristiwa ini?
Saya kira memang ada beberapa versi yang perlu diklarifikasi. Versi Polri, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, mengatakan mereka tidak datang dengan baik-baik. Walaupun Kapolres sudah menyiapkan ruangan, kue-kue, tapi yang terjadi bukan dialog melainkan langsung bakar.
Sementara kalau menurut Kapuspenkum TNI Iskandar Sitompul, itu penjelasan kapolres dianggap tidak memuaskan dan terjadilah kejadian itu. Dalam hal ini pernyataannya seolah-olah mengatakan ada andil Polri sehingga anak buah saya ngambek. Padahal Polri lain lagi pikirnya. Ini orabng-orangnya yang datang niatnya untuk ramai nih, melihat barang yang mereka bawa dan mereka persiapkan. Jadi sekarang terserah pada kita, kita mau percaya yang mana nih.
Ini ada wacana, Kapolda Sumsel harus dicopot, bagaimana menurut Kompolnas?
Saya kira biarlah mekanisme dari dua lembaga ini yang bekerja. Jika memang ada yang tidak mampu bekerja menjaga wilayahnya pasti aka nada konsekuensinya. Enggak usahlah kita dorong-doronglah. Biarkan mereka bekerja dengan cara mereka sendiri.
Tapi satu hal yang perlu saya tekankan adalah kejadian ini sudah berulang, kita harus berpikir gini, jangan-jangan selama ini, sanksinya enggak cukup keras. Enggak ada penangkalan untuk berbuat dari pihak si TNI.
Memang mereka selalu mengatakan kami akan selidiki, akan berikan hukuman kalau ada masalah atau kasus. Tapi who knows? prosesnya kita enggak tahu. Kita enggak tahu siapa yang diberhentikan secara tidak terhormat maupun terhormat karena kasus.Itu kan data publik mestinya. Artinya kalau kita tekankan itu Iskandar sitompul sebagai Kapuspen, rasanya dia juga akan gelagapan tuh.
Artinya, akuntabilitas nampaknya harus diminta dari pihak TNI. Bahwa kalau memang mereka mau nindak, mana hasilnya.
Untuk soal akuntabilitas Polri lebih terbuka dibanding TNI?
Karena kan memang Polri sipil, artinya kalau salah pidana kan ada yang memang harus masuk pengadilan sama dengan sipil. Lalu kemudian bisa disaksikan oleh orang biasa di sidang. Jadi eksposenya memang lebih besar.
Ini yang tidak disetujui oleh TNI. Ketika TNI nyuri, nyuri kambing contohnya, masa yang adili pengadilan militer sih. Harusnya kan pengadilan umum. Kalau dia tidak taat perintah, baru lah pengadilan militer. Tapi kan logika itu enggak pernah main. Alhasil ketika selesai diproses militer ya siapa yang tahu karena tertutup. Harusnya proses sanksi itu terbuka, diketahui publik tapi TNI tidak mau itu.
Dalam kasus OKU ini mereka dengan pandangannya masing-masing, padahal yang paling menderita ini adalah publik. Polres dibakar bisa dibangun lagi, tapi ini data-data publik yang tersimpan di sana hilang kan. Ini juga melukai publik. Oleh karena itu jika ada sanksi untuk oknum harus juga diketahui publik yang sebenarnya paling menderita. TNI dituntut berubah dari TNI yang semaunya menjadi TNI yang demokratis.
Kasus OKU, apakah kompolnas akan ke lokasi dan berupaya mendamaikan dua belahpihak?
Kami sih lebih ke Polri dan memang karena kami tidak ada mandat mengurus TNI. Kami miggu depan akan ke sana (OKU) untuk membesarkan hati teman-teman di sana. Karena kami satu pihak adalah pengawas. Pihak lain secara undang-undang diberi tugas untuk memberi empower. Kami ke sana untuk mendukung arah kebijakannya seperti apa.
Apa rekomendasi Kompolnas untuk Kapolri?
Kami akan ketemu Kapolri minggu dpn. Kami nyatakan Kapolri dan Polri harus tegas. Ini bukan masalah karena ada korban dari Polri atau karena Polres OKU dibakar yang rugi adalah negara kalau Polres dibakar. Tapi yang paling rugi ini sebenarnya adalah kita, yang melihat dua pihak ini supposed to be our protectors, malah fighting each other. Nah Kapolri harus lebih tegas. Sudah mau habis juga masa jabatannya. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Takut Dilengserkan
Redaktur : Tim Redaksi