Sudah Rugikan Negara, Mafia Tambang Sumsel Juga Bikin Warga Sakit, KPK Diminta Bergerak

Sabtu, 30 April 2022 – 11:35 WIB
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan update terkini suplai batu bara ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Temuan terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ada sejumlah tambang penghasil batu bara berkualitas rendah menyuplai PLTU Sumsel I.

Tak hanya merugikan keuangan negara, praktik kotor tersebut juga menyebabkan banyak masyarakat sekitar terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

BACA JUGA: Bedah Rumah Duafa, PLN Manfaatkan Limbah Batu Bara untuk Bahan Konstruksinya

Berdasarkan data ICW, PLTU Sumsel 1 yang berada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

"Asap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memang mematikan. Ia mengandung sejumlah senyawa beracun yang dapat menimbulkan penyakit. Penyakit asma, infeksi pernapasan akut, dan kanker paru-paru adalah sejumlah diantaranya, senyawa itu mengancam nyawa warga," tulis ICW dalam laporannya.

BACA JUGA: Polisi Garap 8 Saksi di Kasus Longsor Tambang Batu Bara yang Menewaskan Pekerja

Selain masyarakat sekitar disajikan udara yang telah tercemar, sumber pencaharian mereka juga terusik dengan keberadaan PLTU. Lahan pertanian yang subur atau laut yang bersih tak lagi mereka temukan.

"Ini di antaranya dikarenakan lahan telah beralih menjadi lokasi PLTU dan tumpahan batu bara mencemari air laut. Akibatnya bertani atau memanen ikan tak lagi menjadi pilihan hidup mereka," tulis laporannya.

BACA JUGA: Nicke Widyawati: Truk Batu Bara tidak Boleh Isi Solar Bersubsidi di Seluruh SPBU

Menanggapi permasalahan tersebut, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta agar aparat penegak hukum mulai dari Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan Agung turun tangan.

"Semua penegak hukum perlu dikerahkan dan oknum aparat penegak hukum juga harus diproses di peradilan," kata Fickar kepada wartawan.

Menurutnya, semua kejahatan termasuk mafia tambang selain melanggar hukum juga merugikan perekonomisn negara. "Karena mereka mengambil hasil tambang tanpa mau membayar pajak dan retribusinya pada negara atau pemerintah," katanya.

Terkait dengan temuan ICW, Fickar menilai setiap hal yang merugikan perekonomian negara harus dibenahi.

"Setiap faktor yang menyebabkan kerugian perekonomian nagara, termasuk mafia tambang harus dibenahi dan ditertibkan, sehingga tidak mengganggu terhadap iklim investasi di negara ini," ujarnya.

Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai jika kasus mafia tambang ini memang secara tradisi sudah terjadi sekian lama di Indonesia.

"Praktik-praktiknya memang banyak mengindikasikan atau seringkali diwarnai dengan pengaruh dari shadow government, kemudian ada praktik-praktik ilegal yang sering kali merugikan bagi masyarakat sekitar dan juga bagi lingkungan," kata dia.

Parahnya, kata dia, praktik tersebut seringkali tak hanya melibatkan oknum penegak hukum, tetapi juga pegawai pemerintah, dan oknum penguasa yang tentu saja bekerja sama dengan pemilik modal.

"Seperti yang saya sebutkan, shadow government sebetulnya adalah di luar pemerintahan tapi memiliki pengaruh dari sisi kemampuan modal capital mereka, yaitu penguasa yang menguasai tambang-tambang terutama yang didaerah-daerah," katanya.

Untuk itu, Faisal pun setuju jika KPK dan Polri harus turun sampai ke praktik mafia tambang. "Saya rasa setuju kalau kemudian KPK dan Polri memang mesti harus turun sampai ke bawah, sampai ke praktik-praktik sektor pertambangan ini, karena itu masih marak sampai sekarang," lanjutnya.

Faisal pun meyakini, terkait dengan dugaan para mafia tambang yang support atau mendukung dalam kampanye Pilpres. "Seringkali begitu," kata dia.

Sehingga menurutnya, praktik-praktik tersebut yang seharusnya sudah secara konsisten harus diberantas di Indonesia. "KPK memang harus turun sampai arah ke sana," ujarnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler