jpnn.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menyampaikan kini telah kewenangan untuk menunjuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) aset kripto atau exchanger luar negeri untuk menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pemerintah mengatur pajak aset kripto melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan.
BACA JUGA: Jual Beli Kripto Kena Pajak, Ketua MPR: Bisa Tambah Pemasukan Negara
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Kemenkeu Bonarsius Sipayung mengatakan DJP sudah memiliki pengalaman menunjuk PPMSE luar negeri untuk memungut pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020.
"Dalam konteks kripto ini juga sama ya. Jadi dimungkinkan pihak luar negeri kami tunjuk. Namun, tentunya setelah kami punya data," kata Bonarsius, di Jakarta, Rabu (6/4).
BACA JUGA: Jual Beli Kripto Kena PPN dan PPh Mulai 1 Mei, Sebegini Tarifnya
Bonarsius menjelaskan kebijakan ini adalah upaya bahwa pemerintah memberi perlakuan yang sama terhadap exchanger dalam negeri yang terdaftar di Bappebti dan dari luar negeri.
Adapun turunan yang mengatur aset kripto, yakni pada PMK Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
BACA JUGA: Melalui Gim Dekaron, KUY Token Siap Mendominasi Pasar Kripto
Pada Pasal 27 disebutkan PPMSE asing pada Pasal 10 yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN, sekaligus ditunjuk sebagai pemungut PPh.
"Secara umum terdapat PPN final sebesar 0,11 persen dan PPh Pasal 22 bersifat final sebesar 0,1 persen yang dikenakan atas transaksi aset kripto," jelas Bonarsius.
Bonarsius menyebut berdasarkan data 2020 transaksi aset kripto tercatat mencapai Rp 850 triliun sehingga potensi pajaknya sekitar Rp 1 triliun dalam setahun.
"Tetapi jumlah potensinya bisa naik atau turun, bergantung pada jumlah transaksi di suatu tahun seperti apa," kata Bonarsius. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul