Suharso dan Amplop Kiai

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 07 September 2022 – 20:14 WIB
Suharso Monoarfa. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Amplop bisa membawa berkah, tetapi amplop bisa mengakibatkan musibah. 

Gegara isu amplop, Suharso Monoarfa didongkel dari posisinya sebagai ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

BACA JUGA: Suharso Monoarfa Bilang Masih Menjabat Sebagai Ketum PPP, Begini Alasannya

Konflik internal partai pecah lagi, dan seperti biasanya akan berbuntut dualisme dan saling gugat di antara elite partai.

PPP tidak pernah sepi dari konflik internal. 

BACA JUGA: Geruduk Kantor Bappenas, Massa Minta Suharso Mundur Sebagai Menteri

Bisa disebut bahwa PPP adalah partai dengan pengalaman konflik internal paling banyak dalam sejarah pembentukannya.

Pendongkelan Suharso Monoarfa kali menunjukkan bahwa ada api dalam sekam yang tidak terlihat dari luar.

BACA JUGA: Amplop Suharso

Kepemipinan Suharso yang terlihat baik-baik saja ternyata keropos di dalam. 

Hanya dengan satu isu ‘’amplop kiai’’ saja, seorang ketua umum bisa didongkel dengan relatif mudah dan dalam waktu singkat.

Insiden ini membuka spekulasi bahwa kepemimpinan Suharso tidak mengakar, atau kepemimpinannya tidak mendapatkan dukungan dari elite partai maupun akar rumput partai.

Sejak terbentuk dari penggabungan partai-partai berasas Islam di era Orde Baru 1970, partai ini menjadi langganan konflik internal. 

Tradisi konflik internal terus berlangsung sampai dengan orde Reformasi.  

Sekarang, tradisi itu muncul lagi dan hampir bisa dipastikan bukan konflik internal yang terakhir.

Karena seringnya terjadi perpecahan internal dan tidak ada persatuan, partai ini tidak bisa membangun soliditas di antara para elite dan dengan pendukung di akar rumput. 

Partai ini pun diledek sebagai partai yang tidak pernah bersatu dan tidak pernah membangun, meskipun namanya Partai Persatuan Pembangunan.

Di era Orde Baru, partai ini menjadi sasaran pelemahan oleh operasi kekuasaan. 

Sebagai partai gabungan partai-partai Islam, PPP menjadi incaran pelemahan karena dianggap sebagai ancaman terhadap rezim Orde Baru. 

Partai ini pun menjadi sasaran operasi intelijen dengan menyusupkan agen-agen intelijen ke dalam partai.

Salah satu konflik yang fenomenal adalah kemunculan J. Naro sebagai ketua umum PPP. 

Nama ini tidak dikenal sebelumnya. Ia secara tiba-tiba muncul dan kemudian bisa mengambil alih kendali partai. 

Orang pun mencurigai ada penyusupan intelijen dalam kemunculannya.

Pada 1979, Naro mendeklarasikan diri sebagai ketua umum dengan dukungan dari pemerintah Orde Baru. 

Ia dikenal sebagai mantan jaksa yang kemudian menjadi politikus dengan menjadi anggota Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). 

Kemudian, Parmusi melebur ke dalam PPP melalui kebijakan fusi di masa Orde Baru. 

Naro dianggap orang misterius. Inisial namanya pun diartikan macam-macam. Ada yang menyebutnya Jailani Naro, ada pula yang menyebutnya John Naro. 

Penyebutan John dimaksudkan sebagai upaya mendelegitimasi Naro sebagai tokoh yang tidak islami. Dia bahkan disebutkan memelihara anjing di rumahnya.

Saat itu, Naro berselisih dengan politikus PPP dari fraksi Nahdlatul Ulama (NU). 

Dia menyingkirkan para politikus dari kalangan NU memusatkan semua dukungan kepadanya. 

Perselisihan Naro dan politikus dari kalangan NU di PPP mencapai puncak pada 1982. 

Saat itu, banyak calon anggota legislatif PPP dari NU terpental dari nomor urut jadi menjadi posisi bawah sehingga kecil kemungkinan untuk terpilih. 

NU memutuskan mundur dari dunia politik dalam wadah PPP melalui keputusan Muktamar pada 1984 yang digelar di Situbondo, Jawa Timur. 

Dalam keputusan muktamar itu, NU menyatakan kembali ke khittah 1926, yaitu sebagai organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan. 

Ketika itu, para politisi NU yang kecewa melakukan gerakan yang populer disebut sebagai penggembosan PPP.

Akibat aksi penggembosan itu perolehan suara PPP pada Pemilu 1988 merosot hingga hanya mencapai 15,6 persen. 

Padahal pada Pemilu 1982, PPP meraih suara nasional sebanyak 27,78 persen. 

Karena perolehan suara yang jeblok, John Naro akhirnya dicopot dari posisi ketua umum pada Muktamar PPP 1989.  

Dia digantikan oleh Ismail Hasan Metareum yang dikenal sebagai politisi yang sejuk. Di bawah kepemipinan Metareum PPP praktis adem ayem.

Pada era reformasi konflik internal pecah lagi. 

Menjelang Pemilihan Presiden 2014, terjadi perebutan kekuasaan antara Ketua Umum Surya Darma Ali (SDA) melawan kubu anak-anak muda yang dipelopori Romahurmuziy. 

SDA yang ketika itu menjadi menteri agama di kabinet SBY ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam kasus korupsi dana haji. 

SDA divonis dan dihukum penjara. PPP pecah menjadi dua, kubu SDA memilih Djan Faridz sebagai ketua dan kubu lain memunculkan Romahurmuziy sebagai ketua.

Dua kubu terlibat saling gugat sampai selama bertahun-tahun. 

Nasib Romahurmuziy kemudian sama dengan SDA ditangkap KPK dalam kasus gratifikasi di Departemen Agama, dan Romahurmuziy dijatuhi hukuman penjara.

Suharso Monoarfa muncul sebagai ketua alternatif pada 2021. 

Sisa-sisa konflik internal rupanya tidak benar-benar hilang. 

Ketika Suharso membawa partainya masuk ke dalam gerbong pendukung Jokowi--dan kemudian membentuk koalisi KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) bersama Golkar dan PAN (Partai Amanat Nasional)--muncul ketidakpuasan di sebagian elite partai.

Rumor politik yang berkembang menyebut bahwa KIB akan menjadi kendaraan untuk memuluskan calon presiden yang didukung Jokowi, yaitu Ganjar Pranowo. 

Sebagai partai yang berbasis Islam, rumor ini  memunculkan ketidaksetujuan di sebagian elite. 

Kenangan buruk dalam pemilihan gubernur DKI 2017 menjadi trauma bagi PPP. 

Ketika itu PPP mendukung Ahok-Djarot dan berpaling dari Anies-Sandi. 

Ahok kalah dan PPP terkena imbasnya. 

Massa pendukung PPP yang marah akhirnya melampiaskan kekecewaannya pada Pemilu 2019. 

Perolehan suara PPP di DPRD DKI anjlok 90 persen dan kursi PPP amblas dari 10 kursi menjadi 1 kursi.

DKI Jakarta selalu menjadi basis terkuat PPP sejak Orde Baru. 

Akan tetapi, gegara salah pilih dukungan dalam pilpres PPP langsung menjadi partai duafa. 

Trauma ini terancam terulang pada Pilpres 2024. 

Bagaimana pun Anies Baswedan mempunyai dukungan luas di DKI. 

Kalau PPP mendukung calon lain selain Anies, nasibnya bisa tidak lolos ambang batas 4 persen, dan PPP akan hilang dari bumi.

Suharso sekarang lengser. 

Nasib KIB menjadi pertanyaan apakah akan tetap utuh atau akan bubrah. 

PPP pasti memikirkan nasibnya sendiri untuk bisa survive, ketimbang memikirkan keutuhan KIB. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler