Suka Duka Petugas Pemungutan Suara Pemilu Amerika Serikat

Hanya Dibayar USD 100 untuk Kerja 16 Jam

Rabu, 14 November 2012 – 00:01 WIB
BAWA KELUARGA: Seorang warga Distrik Dranesville, McLean, Virginia, menggunakan haknya dalam pemilihan presiden AS, pekan lalu. Foto: Redhi Setiadi for Jawa Pos

Salah satu unsur penting dalam suksesnya pemilu AS pekan lalu adalah para petugas pemungutan suara (election official). Merekalah yang bertanggung jawab atas kelancaran pemungutan suara pada hari H pemilu. Berikut laporan kontributor Jawa Pos REDHI SETIADI dari Washington DC.

= = = = = = = = =
 
PUKUL 5 pagi waktu setempat, Selasa (6/11) pekan lalu, Vicki R. Hermann sudah bergegas menuju polling station atau TPS yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Saat itu, hari masih gelap dan suhu di luar sangat dingin hingga membuat telapak tangan tak berasa. Sebagian besar warga yang tinggal di Distrik Dranesville, McLean, Virginia, tersebut juga masih terlelap. Hari itu adalah hari pemungutan suara pemilu presiden AS.
 
Vicki datang ke TPS sepagi itu tidak untuk menggunakan hak pilihnya, tapi menyiapkan tempat untuk warga di lingkungannya yang akan memilih calon presiden idaman mereka. Sukses tidaknya pemilu AS 2012 di distrik tersebut sangat bergantung pada kinerja perempuan kelahiran 66 tahun lalu itu.

Hari itu, perempuan energik tersebut memang ditunjuk oleh lembaga pemilu setempat sebagai ketua PPS (panitia pemungutan suara, chief election officer). "Ini merupakan bakti saya kepada negara," kata Vicki.
 
Pensiunan pegawai federal itu mengaku sudah 11 tahun terlibat dalam urusan pemilu. Sejak pensiun dari salah satu perpustakaan milik pemerintah federal di Washington DC, dia memang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk kerja-kerja sosial. Termasuk, mengurusi pemilu di lingkungan tempat tinggalnya. Tahun ini merupakan kali ketiga bagi Vicki menangani langsung pemilihan presiden.
 
Seperti di Indonesia, menjadi anggota PPS di AS merupakan kerja sukarela (voluntary). Meski begitu, mereka tetap diberi tunjangan transportasi dan uang makan sebesar USD 100 atau setara Rp 960 ribu untuk bekerja selama 16-18 jam saat hari H pemungutan suara.
 
Namun, tunjangan tersebut juga bersifat sukarela. Sebab, ada beberapa anggota PPS yang benar-benar tidak mau dibayar meski hanya biaya transportasi. Misalnya, salah seorang staf Vicki yang tidak mau namanya ditulis.
 
"Dengan menjadi anggota PPS, saya bisa bertemu dan melayani orang-orang yang tinggal di lingkungan saya," kata pria warga negara AS keturunan Tiongkok tersebut.
 
Untuk menjadi anggota PPS di AS, tidak ada syarat khusus. Semua warga yang terdaftar dalam pemilu bisa mengajukan diri. Hanya, orang-orang yang bekerja untuk pejabat yang dipilih (elected official) tidak diperbolehkan mendaftar. Misalnya, staf wali kota, staf gubernur, atau staf dewan pendidikan. Namun, pegawai negeri secara umum tidak dilarang.
 
Di TPS yang berlokasi di sebuah SMA itu, Vicki dibantu tujuh staf yang rata-rata seumuran dirinya. Kondisi TPS yang buka pukul 06.00 hingga 19.00 tersebut terlihat sangat sederhana. Hanya terdiri atas tiga meja panjang, lima bilik suara, tiga mesin surat suara layar sentuh (touch screen ballot), dan sebuah kotak suara (ballot box).
 
Menurut catatan Vicki, hari itu TPS yang dipimpinnya harus melayani 2.165 pemilih yang terdaftar di Congressional District 8, McLean, Virginia. Sejak pintu dibuka, antrean sudah memanjang. Untungnya, TPS tersebut berlokasi di bangunan sekolah yang sangat lapang, sehingga antrean berlangsung di dalam gedung. Jika tidak, suhu udara yang tidak beranjak dari 0 derajat Celsius itu bisa membuat pengantre kedinginan sebelum masuk bilik suara (voter booth).
 
Setelah mengantre sekitar 30 menit, calon pemilih sampai di depan meja panjang pertama. Di situ, mereka akan didata nama dan alamatnya. Kartu identitas apa saja bisa digunakan. Mulai kartu pemilih, SIM, paspor, kartu anggota militer, kartu mahasiswa, kartu pengenal tempat kerja, hingga tagihan telepon, TV, listrik, apartemen, dan sebagainya.
 
"Prinsipnya, semua bukti identitas kami terima, asal ada nama terang dan alamatnya," jelas Vicki sambil menunjukkan daftar 21 jenis bukti identitas yang bisa digunakan.
 
Di seberang meja pendataan tersebut, ada satu meja panjang lagi. Di meja itulah pengawas pemungutan suara (poll watcher) mencatat dan mencocokkan identitas pemilih. Pengawas tersebut berasal dari Partai Republik dan Demokrat (dua partai yang mengusung calon presiden dalam pilpres kali ini, Red) serta Tea Party. Tea Party merupakan kelompok politik paling konservatif di AS.

Para pengawas itu terlihat masih muda-muda. Mereka tidak berinteraksi langsung dengan pemilih, tapi dengan petugas pendataan yang menyebut nama calon pemilih dengan suara agak keras.
 
Setelah lewat meja pendataan, calon pemilih bergeser ke meja berikutnya untuk mengambil surat suara kertas atau memilih surat suara layar sentuh. Surat suara kertas tidak berbentuk lipatan, tapi berupa selembar kertas ukuran kuarto yang diselipkan dalam map.

Setelah itu, mereka diarahkan menuju bilik suara. Yang memilih balot kertas diarahkan ke meja bilik suara yang berbentuk kubus tertutup tiga sisi ukuran 60 x 60 x 60 cm. Sedangkan yang memilih balot elektronik diarahkan menuju deretan komputer layar sentuh yang kanan-kirinya tertutup.
 
Pemilih yang menggunakan layar sentuh diberi kesempatan tiga kali untuk meneliti dan mengoreksi pilihan mereka sebelum menekan tombol Ok/Submit. Yang menggunakan balot kertas, setelah mengisi semua pilihan, harus memasukkan surat suara tersebut ke dalam kotak suara yang juga berfungsi sebagai scanner.

Di sinilah perolehan suara langsung dihitung. Setelah itu, pemilih diberi stiker kecil bertulisan "I Voted Today" yang bisa ditempel di baju atau jaket sebagai tanda mereka telah menggunakan hak suaranya.
 
Pagi itu, beberapa pemilih datang bersama anggota keluarganya, termasuk bayi dan anak-anak kecil. "Ini merupakan praktik pendidikan kewarganegaraan," kata Ashley Misitzis, 30, salah seorang warga. Ibu satu anak tersebut datang bersama suami dan anak mereka yang baru berumur hampir 2 tahun.
 
Menurut Alasdair Bowie, associate professor ilmu politik George Washington University di Washington DC, pemilu bagi sebagian warga AS merupakan bentuk penegasan tentang kewarganegaraan dan bentuk kebanggaan mereka pada negara. "Terutama bagi imigran yang telah mendapat status kewarganegaraan AS, momen pemilu seperti ini sangat signifikan," kata Alasdair.
 
Pemungutan suara, lanjut dia, juga merupakan kesempatan bagi warga AS untuk bersosialisasi dengan tetangga kanan-kiri mereka. Karena itu, di beberapa daerah, mereka biasanya datang ke TPS dengan berjalan kaki dan memakai baju rapi.
 
Berbeda dari di Indonesia yang mengenal masa tenang, kampanye di AS masih saja berlangsung saat hari pemungutan suara. Bahkan berkampanye di lokasi TPS. Di luar gedung TPS yang dipimpin Vicki, misalnya, kubu Barack Obama dan Mitt Romney masih berusaha memengaruhi calon pemilih dengan membagikan contoh surat suara yang sudah diisi. Tentunya diisi agar menguntungkan calon dan partai mereka.
 
Selain memengaruhi calon pemilih, tim sukses masing-masing kandidat menempatkan seorang aktivis partai untuk mendampingi calon pemilih jika mereka dipersulit atau mendapat hambatan saat menyalurkan hak politiknya di TPS.
 
Di TPS Vicki, beberapa petunjuk juga dibuat bilingual, yakni dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Beberapa petugas TPS juga direkrut berdasar kemampuannya dalam berbahasa Spanyol atau bahasa lain seperti Mandarin. "Itu semua untuk memudahkan pemilih dalam menggunakan haknya mencoblos," tegas Vicky. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Kegaduhan Pilpres AS Berpindah ke Udara dan Dunia Maya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler