jpnn.com - Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Jawa Timur sudah selesai (25/12), dan memunculkan Dr. dr. Sukadiono sebagai ketua.
Banyak catatan yang sudah diberikan terhadap pelaksanaan Musywil ke-16 ini.
BACA JUGA: Tokoh Muda Muhammadiyah: Komitmen Jokowi Sejalan dengan Arah Perjalanan Bangsa
Kemunculan Sukadiono sebagai ketua juga memunculkan beberapa catatan, antara lain adanya pergeseran orientasi warga Muhammadiyah Jawa Timur, yang lebih cenderung memilih manajer sebagai ketua, ketimbang ulamah fakih yang betul-betul faham mengenai agama.
Tengara ini diungkapkan oleh Prof. Agus Purwanto, guru besar ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya) yang juga Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM (Pengurus Wilayah Muhammadiyah) Jawa Timur.
BACA JUGA: Ketua NU dan Muhammadiyah Jatim Doakan Demokrat, Jubir: Konsistensi Menjaga Posisi
Ada dua fenomena baru yang disorot Prof. Agus. Pertama, terjadinya pergeseran orientasi dari ulama ke manajer.
Yang kedua, baru kali ini ketua Muhammadiyah punya nama Jawa, dan bukan nama Arab sebagaimana para ketua sebelumnya.
BACA JUGA: Cak Imim: Kalau terjadi Transaksi Pemilihan dengan Uang, Hasilnya Pasti Jorok
Di antara sederet nama ketua PWM Jatim, Sukadiono memang satu-satunya nama Jawa.
Lain-lainnya adalah nama Arab, yakni Abdul Hadi, M. Saleh Ibrahim, Anwar Zein, Abdurrahim Nur, Fasichul Lisan, Syafiq Mughni, Thohir Luth, dan Sa’ad Ibrahim.
Pujangga Inggris William Shakespeare mempertanyakan ‘’What is in the name’’, Apa arti sebuah nama.
Bunga mawar akan tetap harum meskipun diberi nama lain.
Begitu ungkapan lengkap dari Shakespeare. Seseorang yang punya kualitas hebat akan tetap diakui kehebatannya siapa pun namanya.
Akan tetapi, di sisi lain, nama adalah sebuah identitas.
Nama Arab diasosiasikan dengan Islam dan santri (tentu tidak selalu demikian, Samsul Nursalim, contohnya), dan nama Jawa dianggap kurang Islam, atau paling tidak kurang santri.
Orang Jawa suka memberi nama anaknya dengan satu suku kata saja, misalnya Sukarno atau Soeharto (untuk keperluan pengurusan paspor agak merepotkan karena nama minimal harus dua suku kata).
Kedua tokoh itu adalah presiden Republik Indonesia, sebuah negara dengan penduduk mayoritas Islam terbesar di dunia.
Supaya terlihat lebih islami maka nama Sukarno ditambahi menjadi Ahmad Sukarno.
Soeharto ditambahi menjadi Muhammad Soeharto, bahkan masih ditambahi lagi dengan titel haji. Lengkaplah sudah identitas Islamnya.
Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah masih percaya kepada logosentrisme, hal-hal yang bersifat aksesoris menjadi simbol yang penting.
Gelar haji maupun gelar akademis yang panjang akan menambah gengsi seseorang.
Status sosial seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh ‘’ascription’’, seperti gelar, ketimbang ‘’achievment’’ atau kemampuan dalam menyelesaikan tugas.
Simbol-simbol fisik seperti jenggot, gamis, kopiah, sarung, dan baju takwa, menjadi simbol kesantrian seseorang.
Karena itu, ada insiden lucu pada pembukaan Musywil Ponorogo.
Ketika itu Sukadiono yang duduk di deretan depan tidak memakai kopiah.
Beberapa saat kemudian seseorang mengirim kopiah dan Sukadiono mengenakan kopiah itu.
Kabarnya, Prof, Dien Syamsudin yang membisiki supaya Sukadiono berkopiah.
Sebagai organisasi dakwah yang konsen terhadap gerakan tajdid, simbol-simbol artifisial dan aksesoris itu seharusnya sudah tidak menjadi isu.
Terpilihnya Sukadiono sebagai ketua justru bisa menjadi tonggak perubahan yang menjadi preseden bagus di masa depan.
Mungkin setelah Sukadiono menjadi ketua akan muncul ketua-ketua dengan nama Jawa yang ‘’kurang santri’’, misalnya Agus Purwanto dan lainnya.
Hal yang lebih esensial adalah tengara terjadinya pergeseran orientasi di kalangan warga Muhammadiyah.
Hal itu ditandai dengan munculnya kecenderungan untuk memilih manajer ketimbang ulama sebagai ketua.
Selama berkiprah di Muhammadiyah Sukadiono memang lebih menonjol kemampuan manajerialnya.
Hal itu dibuktikannya dengan menjadi rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya selama 3 periode.
Sukadiono juga dikenal punya tangan dingin dalam mengelola AUM (Amal Usaha Muhammadiyah).
Pertanyaannya adalah, apakah pergeseran itu terjadi di level warga Muhammadiyah, atau justru terjadi di level pengurus PWM.
Dari perspektif strukturasi Giddens, PWM adalah struktur dan warga Muhammadiyah adalah agen.
Pergeseran pada level struktur akan lebih mudah memengaruhi perubahan pada level agen ketimbang sebaliknya.
Artinya, dalam kasus Musywil Ponorogo ini pergeseran orientasi terjadi di level struktur yang kemudian memengaruhi agen, bukan sebaliknya.
Salah satu sorotan terhadap Musywil kali ini adalah munculnya gejala politisasi.
Ditengarai ada gerakan yang memakai cara-cara politik untuk mendukung seorang kandidat.
Ada juga cara-cara politik untuk mendiskreditkan seorang kandidat.
Salah satu kandidat mengeluhkan adanya black campaign, kampanye hitam yang menimpa dirinya.
Kampanye hitam itu dianggapnya sudah menjurus ke arah character assassination atau pembunuhan karakter yang menjurus kepada fitnah.
Beberapa senior di jajaran pimpinan PWM memprihatinkan situasi ini, dan mengingatkan musyawirin supaya menghindari cara-cara yang tidak sesuai dengan adab dan tradisi Muhammdiyah.
Diakui atau tidak, aroma politik pada Musywil Ponorogo ini cukup menyengat.
Ada tim sukses yang mengatur dan menyiapkan strageti supaya kandidat yang didukungnya menang.
Salah satu cara yang dipakai adalah menerapkan strategi ala ‘’multi-stage random sampling’’ supaya kandidatnya mendapat dukungan suara terbanyak.
Pengaruh tahun politik 2024 tidak bisa dihindarkan.
Mungkin ada yang punya kepentingan politik pada 2024 dan menjadikan Musywil ini sebagai batu loncatan.
Hal itu bisa dimaklumi mengingat pengaruh Muhammadiyah yang cukup besar selama ini.
Musywil sudah selesai.
Proses pemilihan ketua sudah dilaksanakan secara demokratis.
Tentu proses ini tidak bisa menyenangkan semua orang.
Ada yang suka kepada Sukadiono, dan ada juga yang ‘’Tidak Suka-diono’’.
Sebagai catatan terakhir, Muhammadiyah harus tetap istikamah sebagai gerakan dakwah.
Pergeseran orientasi yang terlihat pada Musywil Ponorogo adalah cermin dari pergeseran di level struktur.
Karena itu, dibutuhkan kesadaran dan komitmen di level struktur, supaya persyarikatan ini tidak tergelincir menjadi hanya sebuah holding company. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror