jpnn.com - Sukarelawan adalah orang yang rela bekerja tanpa pamrih untuk membantu sebuah pekerjaan atau menyelesaikan persoalan. Seharusnya sukarelawan bekerja ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Namun, dalam praktiknya, sekarang kelompok sukarelawan sudah menjadi organisasi pseudo-politik alias organisasi politik semu.
BACA JUGA: Erick Thohir Banser Bersertifikat
Organisasi sukarelawan menjadi instrumen pendukung seorang politikus dalam sebuah kontestasi politik. Setelah calon yang didukung menang, kelompok sukarelawan berubah bentuk menjadi semacam pressure group.
Organisasi sukarelawan biasanya bubar setelah pekerjaan selesai. Akan tetapi, dalam banyak kasus di Indonesia, kelompok sukarelawan tetap berdiri jauh setelah pekerjaan selesai.
BACA JUGA: Anies - Sandi, dari Dwitunggal jadi Dwitanggal
Kelompok sukarelawan ini tidak rela begitu saja setelah calon yang didukungnya dalam perhelatan politik menang. Banyak yang menunggu mendapatkan political reward alias ganjaran politik, misalnya memperoleh jabatan sebagai komisaris di BUMN, atau malah meminta jatah menteri.
Praktik jual beli putus ini menjadi hal yang lazim dalam perhelatan kontestasi politik di Indonesia. Partai politik sebagai pemilik tiket memasang harga tertentu kepada calon yang hendak meminta tiket pencalonan.
BACA JUGA: Banteng Vs Celeng
Macam-macam nama biaya itu, mulai biaya pemenangan, biaya kampanye, biaya konsolidasi, biaya serangan fajar, dan lain sebagainya. Biaya-biaya itu lazim disebut sebagai mahar sebagai bagian dari transaksi politik.
Ada parpol yang mengusung jargon ‘politik tanpa mahar’ alias tidak ada biaya politik yang harus dibayar untuk mendapatkan tiket politik. Partai yang paling getol mengusung jargon itu adalah Partai Nasional Demokrat atau Nasdem.
Saat ini Nasdem menjadi pengusung utama Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Dua parpol lain yang mengikuti jejak Nasdem untuk mengusung Anies Baswedan ialah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Beberapa hari terakhir lanskap politik Indonesia diramaikan oleh berita mengenai kelompok sukarelawan yang membubarkan diri. Kelompok sukarelawan ini menyebut diri sebagai GP (Ganjar Pranowo) Mania yang merupakan reinkarnasi dari kelompok sukarelawan Jokowi Mania alias JoMan.
Semula, GP Mania yang diketuai oleh Immanuel Ebenezer menjadi pendukung fanatik Ganjar Pranowo. Selama beberapa tahun terakhir bermunculan banyak sekali organisasi sukarelawan yang menyatakan mendukung Ganjar Pranowo.
Namun, dengan makin dekatnya pendaftaran pemilu, mulai ada kelompok sukarelawan yang ragu-ragu terhadap masa depan politik Ganjar Pranowo.
Ganjar merupakan bakal calon presiden yang punya popularitas dan elektabilitas bagus. Setiap kali ada survei bakal capres, nama Ganjar bersama Anies Baswedan dan Prabowo Subianto tidak pernah lepas dari 3 besar.
Itulah sebabnya muncul desakan yang cukup deras dari akar rumput PDIP -partai yang menaungi Ganjar- supaya segera menetapkannya sebagai calon presiden. Tarik-menarik terjadi sangat kuat di internal PDIP.
Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP terlihat tidak rela memberikan tiket kepada Ganjar Pranowo. Mega masih tampa sangat menginginkan putri mahkotanya, Puan Maharani, sebagai pemegang tiket capres.
Persoalan yang belum terpecahkan ialah elektabilitas Puan yang masih tersangkut di angka satu koma. Seiring dengan waktu menuju Pilpres 2024 yang makin mepet, kian sulit bagi PDIP untuk mengatrol elektabilitas Puan.
PDIP tidak mau berjudi dengan memberikan tiket kepada Puan yang bermodal elektabilitas minimalis.
Di sisi lain, Ganjar Pranowo masih berkutat dengan ketidakpastian. Ia tidak berani mengabil sikap tegas, karena Megawati sudah siap dengan kartu kuning maupun kartu merah.
Begitu Ganjar berani melakukan pelanggaran, kartu merah akan segera melayang. Itulah sebabnya Ganjar gamang, maju tidak berani, mundur tidak mau.
Di sisi lain, para sukarelawan Jokowi terus bergerak mengadakan musyawarah nasional untuk memilih calon presiden yang bakal disodorkan ke Jokowi. Nama Ganjar selalu muncul dan ungggul di berbagai arena musyarawah.
Akan tetapi, rekomendasi sukarelawan Jokowi itu tidak ada artinya karena tidak ada partai politik yang menanggapinya.
Koalisi Golkar, PPP, dan PAN yang semula diduga menjadi sekoci penyelamat untuk Ganjar Pranowo, ternyata sampai sekarang tidak kunjung mengumumkan kandidat calon presidennya. Belum ada satu partai pun yang berani secara resmi memunculkan Ganjar Pranowo sebagai kandidat calon presiden.
Tidak ada partai pemilik kursi di parlemen yang berani mengusik PDIP dengan mencalonkan Ganjar sebagai kandidat capres.
Kondisi ini membuat kelompok organisasi rawan frustrasi terhadap Ganjar. Salah satunya ialah GP Mania yang menjadi reinkarnasi Jokowi Mania.
Ketua GP Mania memutuskan untuk membubarkan organisasi sukarelawannya dan mencabut dukungannya terhadap Ganjar. GP Mania tidak sabar melihat Ganjar yang tidak bertindak tegas.
Ganjar dianggap tidak layak menggantikan Jokowi. Karena itulah GP Mania akan mengalihkan dukungan kepada calon lain.
Ganjar dianggap miskin gagasan, tidak punya visi dan misi yang jelas untuk membangun Indonesia. Ganjar dianggap tidak bernyali untuk mendobrak kebuntuan politik.
Ganjar juga dianggap sarat pencitraan sehingga identitasnya yang riil tidak sesuai dengan citranya di media sosial.
Bukan hanya GP Mania yang lari dari Ganjar. Pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda juga menyatakan mufaraqah alias memisahkan diri dari Ganjar Pranowo.
Abu Janda dikenal sebagai pendukung fanatik Jokowi yang kemudian juga mendukung Ganjar sebagai calon penerus Jokowi. Namun, melihat perkembangan yang macet, Abu Janda pun mengalihkan dukungannya kepada Prabowo Subianto.
Abu Janda berani bertaruh Rp 50 juta untuk menjagokan Prabowo sebagai pemenang Pilpres 2024. Abu Janda mengatakan bahwa ia selalu di barisan yang menang dan kali ini memilih berada di pihak Prabowo.
Ganjar mulai ditinggalkan sukarelawan pendukungnya. Sebaliknya, Anies Baswedan makin mengencangkan gerakannya.
Setelah tiga partai resmi menyatakan dukungan, Anies makin mantap bergerak. PKS berencana akan mendeklarasikan pencalonan Anies pada 24 Februari.
Itu berarti Anies sudah resmi mendapat dukungan 3 partai sehingga memenuhi persyaratan presidential threshold.
Kubu oposisi makin terkonsolidasi, sedangkan kubu koalisi pendukung pemerintahan Jokowi masih mencari-cari formasi yang paling tepat. Koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah membentuk sekretariat bersama, tetapi belum menemukan kesepakatan tentang siapa yang akan menjadi wakil Prabowo.
Para sukarelawan pendukung Jokowi masih mengharap Ganjar Pranowo segera mendapat kepastian tiket pilpres. Namun, realitas politik yang kian kompleks membuat Ganjar terasa makin jauh dari tiket pencalinan.
Seperti berburu dengan waktu, sukarelawan-sukarelawan itu harus segera menentukan sikap. Mungkin masih akan ada yang menyusul GP Mania dan Abu Janda yang menarik dan mengalihkan dukungan dari Ganjar Pranowo.
Seiring dengan waktu pelaksanaan Pilpres 2024 yang makin mepet, Ganjar Pranowo bisa kian kesepian ditinggalkan oleh sukarelawan-sukarelawannya.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anies Vs Ganjar
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi