Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk

Sabtu, 20 Februari 2010 – 05:19 WIB
Bendera Merah Putih dan gambar Garuda Pancasila. lustrasi/foto: Sutan Siregar/dok JPG

jpnn.com - Bagi diplomat, bertugas di negara terpencil dan miskin punya tantangan tersendiriYang paling menakutkan adalah ketika jalur komunikasi terputus

BACA JUGA: WHO: Lebih dari 40 Negara Miskin Tak Mampu Lanjutkan Vaksinasi COVID-19

Jika itu terjadi, sewaktu-waktu keselamatan mereka menjadi taruhan.
 ------------------------------ ---------
 ZULHAM MUBARAK, Jakarta
 ------------------------------ ----------
KETIKA ditemui di Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Jl Pejambon, Jakarta, pekan lalu, Sulastriningsih tampak ceria
Dia adalah acting konjen di Noumea, Kaledonia Baru, sebuah negara terpencil di Lautan Pasifik Selatan

BACA JUGA: Prediksi Bill Gates soal Jatah Vaksin COVID-19 untuk Negara Miskin, Suram

Acting Konjen merupakan jabatan tertinggi untuk perwakilan RI di negara yang tergolong negara kecil.

Bagi Sulastri, diundang rapat ke Jakarta sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri
Sebab, dirinya bisa sekalian pulang ke kampung halamannya di Magelang dan Semarang

BACA JUGA: Joe Biden Presiden, Amerika Bakal Bagi-Bagi Vaksin COVID-19 kepada Negara Miskin

"Saya sudah minta izin sekalian supaya bisa mampir pulang sebelum kembali ke Noumea," ujar wanita kelahiran 1966 tersebut.

Noumea adalah ibu kota Kaledonia Baru dan cukup asing di telinga sebagian besar rakyat IndonesiaNegara kepulauan itu merupakan sebuah negeri milik Prancis di Samudera Pasifik bagian selatanKaledonia baru juga dinamai Kanaki, diambil dari nama penduduk asli kepulauan itu"Memang hanya sembilan jam dengan pesawat terbang dari JakartaBiaya perjalanannya hanya sekitar USD 2.250 (setara sekitar Rp 22 juta)Tapi, harus transit di Australia," jelas ibu tiga anak tersebut

Namun, kata dia, yang kerap menjadi kendala untuk bisa mencapai Kaledonia Baru adalah cuacaKarena itu, penerbangan sering tertunda karena cuaca burukLalu, bagaimana dengan penduduk di sana" Sulastri menjelaskan, sebagian besar daerah itu dihuni suku JawaDulu, kata dia, orang Jawa di Kaledonia Baru menjadi kuli kontrakPerpindahan orang Jawa di Kaledonia juga sama dengan orang Jawa ke SurinameNamun, kepindahan orang Jawa di Pasifik terhenti sejak 1949Jumlah penduduk Kaledonia Baru tercatat per 1 September 2006 mencapai 237.765 jiwa.

Bertugas di Kaledonia Baru, menurut dia, membutuhkan kejelian dan faktor kesukuan yang kentalSebab, di negara kepulauan itu sering terjadi kerusuhan kecil yang dimotori warga asli berkulit hitamItu dilakukan dengan tuntutan ingin merdeka dari jajahan Prancis.

Sulastri menjelaskan, dalam beraksi, mereka kerap melakukan sweeping kepada siapa saja yang melintasTak jarang, staf kantor perwakilan Indonesia juga terjebak dalam sweepingNamun, mereka lebih sering lolos tanpa kejadian apa pun setelah menunjukkan tanda pengenal Indonesia dan mengaku berasal dari Jawa.

"Masyarakat Jawa di sana duduk di kalangan menengah ke atasBerbeda dari pendatang asing lainPenduduk asli pun sangat menghormati keturunan Jawa," terang dia.  Belajar dari hal itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) kerap memprioritaskan staf yang keturunan Jawa untuk ditempatkan di Kaledonia.

Yang masih mengganjal bagi Sulastriningsih adalah sering tersendatnya akses komunikasi dari dan ke Kaledonia menuju IndonesiaSampai saat ini, kata dia, akses untuk mengirim SMS ke Indonesia dan sebaliknya masih belum memungkinkanPenggunaan telepon seluler sebatas untuk menelepon"Ya kalau hendak kirim teks, harus e-mail atau dengan faksTapi, kalau mau direct, mungkin dengan telepon saja," ujarnya.

Kendala keamanan, kata dia, memang bukan menjadi faktor utama karena Indonesia lebih diterima warga setempatNamun, kini sangat sulit untuk merunut seseorang apakah keturunan Jawa atau bukanBahasa Jawa memang masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hariNamun, kalangan anak-anak mudanya sudah tak bisa berbahasa Jawa, hanya bisa berbahasa Prancis"Mereka kebanyakan juga sudah kawin campurBerbeda dari warga keturunan India dan kulit hitam di sana yang terus menjaga tradisi," terangnya.

Yang dirasakan Sulastri itu berbeda jauh dari SutarwindargoPria kelahiran 1 Mei 1970 tersebut sudah hampir tiga tahun bertugas sebagai acting konsul di KJRI Vanimo, Papua Nugini (PNG)Kantor Sutarwi (panggilan akrab Sutarwindargo) di kalangan sejawatnya di Pejambon (Kementerian Luar Negeri) dikenal dengan sebutan "kantor perwakilan Indonesia yang paling jarang dikunjungi".

Ya, menjadi diplomat di Vanimo memang tidak ada apa-apanya jika dibanding KBRI di New York, London, Paris, atau JenewaMencapai kota kecil yang terletak beberapa kilometer dari perbatasan RI-PNG itu membutuhkan perjuangan tersendiriPaling mudah dicapai lewat jalan darat, lewat jalan berliku yang diapit hutan dan perbukitan terjal

Perjalanan bisa ditempuh dalam hitungan jamNamun, menurut Sutarwi, bila hujan deras, ceritanya bisa lain"Bertugas di Vanimo harus mampu melawan faktor alam dan kondisi masyarakat yang memang banyak yang kurang terpelajar," ceritanya.

Dia menjelaskan, dalam konteks Vanimo, istilah yang lebih tepat digunakan bukan kerja sama bilateral, melainkan kerja sama antarprovinsiSebab, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang membuka kantor perwakilan di wilayah ituSayangnya, tugas diplomatik yang dibebankan kepada Sutarwi kerap terkendala hal-hal mendasar

Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu sering tidak bisa berkomunikasi dengan telepon seluler karena keterbatasan infrastruktur telekomunikasi di sanaNamun, kata dia, sudah beberapa bulan terakhir dirinya bisa menggunakan akses sinyal provider Indonesia di wilayah Vanimo"Dulu hanya bisa telepon, sekarang sudah bisa SMS dan mulai bisa Facebook," ujarnya bangga.

Karena pertimbangan keamanan, Kemenlu tidak memperkenankan para diplomatnya yang bertugas di konsulat Vanimo memboyong keluargaSuasana di perbatasan PNG memang tidak tampak mencekamTapi, segala potensi kerawanan harus diantisipasi

Apalagi, kata Sutarwi, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan yang kurang terpuji setelah menerima gaji yang dibayar tiap dua mingguDengan gaji yang tidak seberapa, penduduk memiliki kebiasaan membeli minuman keras dan berpesta

"Kalau mabuk, mereka turun ke jalan dan bernyanyi-nyanyiItu rutin setiap dua minggu sekaliKadang dalam kondisi mabuk mereka melempari kantorDulu sih kagetTapi, sekarang sudah biasa," ungkapnya

Vanimo merupakan ibu kota Provinsi Sandaun, provinsi termiskin kedua di Papua NuginiSandaun berasal dari bahasa Inggris sun downArtinya, matahari terbenamVanimo dihuni 9.778 pendudukKarena eksodus warga Papua ke PNG pada 1970 dan 1980-an, terdapat kantong-kantong penampungan warga PapuaMisalnya, di Black Wara, Waromo, Bewani, dan Amanab.

Berdasar catatan Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua, sejak 1984, ada 15.182 orang asal Papua yang direpatriasi ke 11 kabupaten di PapuaPada 2007, 179 pelintas batas kembali ke Papua.Sutarwi menuturkan, dirinya memang kerap khawatir atas kondisi keamanan di VanimoHal itu menyusul memanasnya aksi separatisme di wilayah PapuaDia mengungkapkan, tak sedikit milisi yang lari dari kejaran aparat militer Indonesia dan masuk ke hutan di wilayah PNGKarena itu, dia kerap berjaga-jaga agar tidak ada serangan dari para separatis tersebut.

Selama bertugas di sana, dirinya justru mengaku kerap mendapat suntikan nasionalismeDia menemukan tak sedikit warga Papua yang pada era 90-an melarikan diri ke wilayah PNG datang ke kantornya dan meminta akses untuk kembali ke tanah airHal itu, kata dia, membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang membanggakan
Karena itu, dia berkomitmen untuk bertugas sebaik mungkin, meski tanpa fasilitas pendukung"Secara emosi, saya bangga dengan pekerjaan saya karena bisa menjaga bendera Merah Putih berkibar di wilayah negara orangSaya harap ini akan tercacat sebagai amal baik," ungkapnya(kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... WHO Setujui Alat Tes COVID-19 Lebih Murah dan Lebih Cepat Bagi Negara Miskin


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler