Sulit Mencari Sumber Dana Pembangunan PLTU

Jumat, 22 Februari 2019 – 11:10 WIB
Ilustrasi PLTU. Foto: Radar Cirebon/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, pemerintah belum berhasil menciptakan iklim fiskal dan kebijakan yang kondusif untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Akibatnya, sambung Arthur, biaya pembangunan pembangkit dan listrik EBT terlalu mahal.

BACA JUGA: Janji Jokowi Terapkan Jurus Kurangi Ketergantungan pada Energi Fosil

’’Kemampuan EBT akan naik menjadi 12 GW pada 2025. Makin turun biayanya, switching (bahan bakar) fosil ke EBT juga bakal lebih cepat,’’ papar Arthur, Kamis (21/2).

Dia menyatakan, target bauran energi 23 persen pada 2025 memang fantastis. Sebab, mencari sumber dana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sudah sulit.

BACA JUGA: Sudah Saatnya Indonesia Menuju Energi Terbarukan

Di Eropa, tren telah beralih ke energi bersih. Meski begitu, pembangunan PLTU masih relatif lebih murah jika dibandingkan dengan proyek lain.

Biaya yang dibutuhkan untuk membangun PLTU berkisar USD 1,7 juta (sekitar Rp 23,9 miliar).

BACA JUGA: PLTU Sintang 21 MW di Kalimantan Beroperasi

Biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai USD 3,5 juta (sekitar Rp 49,2 miliar).

Sementara itu, biaya pembangunan pembangkit geotermal menembus USD 6 juta (sekitar Rp 84,3 miliar).

’’Biaya itu memang berkaitan erat dengan risikonya. Makin rendah risikonya, biayanya juga turun,’’ terang Arthur.

Saat ini Institute for Essential Service Reform (IESR) bekerja sama dengan Monash Energy Materials and Systems Institute (MEMSI) dan Agora Energiewende untuk memproyeksikan penetrasi bauran energi terbarukan di Jawa–Bali dan Sumatera.

Targetnya, penetrasi bisa mencapai 43 persen pada periode 2018–2027. Jika penetrasi itu sukses, biaya modal bisa dihemat sampai 20 persen atau sekitar USD 10 miliar (sekitar Rp 140,6 triliun). Gas rumah kaca juga bisa turun 36 persen.

’’Ini mematahkan mitos bahwa porsi energi terbarukan yang lebih banyak akan meningkatkan tarif listrik,’’ ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.

Kementerian ESDM pun telah menetapkan bauran energi dalam RUPTL 2019–2028. Yakni, 54,6 persen untuk batu bara, sekitar 23 persen untuk energi baru terbarukan, 22 persen untuk gas, dan kira-kira 0,4 persen untuk bahan bakar minyak (BBM). (vir/c14/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Beberapa PSN Ditunda, Proyek EBT Jalan Terus


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler