jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin menyampaikan, demokrasi dan konstitusi di Indonesia telah menjamin dinamika politik dan sistem ketatanegaraan berkembang sesuai kehendak dan kebutuhan politik kebangsaan.
"Selama agenda konstitusional ini tidak sedikit pun menegasikan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di republik ini," kata Sultan di Jakarta, Rabu (1/9).
BACA JUGA: Sultan DPD RI Apresiasi Kolaborasi Diplomatik Kemendag â Kemenlu
Hal itu disampaikan Sultan terkait wacana amendemen terbatas UUD 1945 yang menggelinding bebas dan menimbulkan pro dan kontra publik setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo menyinggung isu konstitusional ini pada sidang tahunan MPR, 16 Agustus lalu.
Menurut Sultan, Indonesia hingga saat ini masih mencari sistem dan pendekatan demokrasi yang relevan dengan Pancasila dan jatidiri bangsa.
BACA JUGA: Sultan DPD RI: Demi Pancasila, Kembalikan Presiden Sebagai Mandataris MPR
Akibatnya sistem ketatanegaraan di negeri ini terkesan hibrid dan cenderung menjauhkan bangsa dari cita-cita negara kesejahteraan yang adil dan makmur.
"Sehingga pilihan amendemen UUD 1945 untuk ke-5 kalinya dinilai tepat," ujarnya.
BACA JUGA: Sultan Sebut PPHN Tidak Cukup Bagi Penguatan Checks and Balances
Namun, kata Sultan, jika amendemen hanya terbatas pada penambahan kewenangan menyusun Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) dan keterlibatan MPR dalam RAPBN, dikhawatirkan hanya mengganggu titik keseimbangan dan harmonisasi ketatanegaraan di negeri ini.
"Itu sama halnya memaksa eksekutif bekerja sesuai PPHN dalam sistem presidensial, yang merupakan praktik komando politik yang tidak proporsional bagi hubungan antarlembaga eksekutif dan legislatif," kata mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
Sultan menegaskan, jika ingin pembaharuan konstitusi jangan setengah-setengah, apalagi setengah hati sesuai kehendak kelompok politik tertentu.
Penting menurutnya untuk dikaji ulang secara detail tentang keterkaitan kausalitas antara pasal yang satu dengan pasal lainnya.
"Kami ingin mengatakan penambahan PPHN ataupun klausul lainnya secara parsial tentu akan mengakibatkan kerancuan konstitusi. Kita tak mungkin menugaskan presiden untuk melaksanakan tugasnya sesuai PPHN," bebernya.
Di saat yang sama, lanjut Sultan, presiden merasa sangat dominan (executive heavy) dengan legitimasi electoral-nya sebagai daulat langsung rakyat.
"Bisa dibayangkan betapa rancunya sistem demokrasi konstitusional yang demikian," ungkapnya.
Sultan sependapat, Indonesia harus memiliki pedoman pembangunan bangsa yang disebut PPHN.
"Namun tidak lantas menyebabkan keseimbangan politik demokrasi perwakilan yang seimbang (check and balance). Politik pengawasan dan evaluasi MPR sebagai mandataris kedaulatan rakyat dibatasi oleh kekuasaan eksekutif yang juga terlegitimasi mandat rakyat oleh pemilihan langsung," katanya.
Sultan menuturkan, sistem multipartai dan kapasitas personal pemimpin masih akan mengganggu jalan demokrasi Pancasila, jika hanya memperkuat kewenangan MPR yang juga pemegang mandat rakyat dengan hanya pada memperbaharui UUD 1945 dan menyusun PPHN.
"Kami mengusulkan agar tidak terkesan rancu, amendemen UUD harus dilakukan secara bersama-sama pada pasal yang terkait dengan suksesi kepemimpinan nasional," kata Sultan lagi.
Menurutnya, terdapat anasir demokrasi lain yang urgen untuk didorong sebagai konsensus kebangsaan dalam amendemen UUD kali ini, yakni terkait kesetaraan dan keadilan politik bagi putra-putri terbaik bangsa non partai politik dalam rekruitmen calon presiden.
Lebih lanjut Sultan menyampaikan, realitas multikultural dan memiliki kompleksitas multikarakter sosiologis bangsa Indonesia yang secara politik terepresentasi melalui DPD merupakan entitas politik yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam proses suksesi kepemimpinan nasional.
"Di tengah kualitas kaderisasi partai politik yang seadanya, negara wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada bakal kandidat presiden independen dalam momentum suksesi kepemimpinan nasional, sama ketika dilaksanakannya prosesi demokrasi di daerah," ujarnya.
Sultan juga menegaskan, di tengah krisis multidimensial bangsa yang sedikit banyak mengancam disintegrasi NKRI dibutuhkan cara-cara yang besar.
Misalnya mempertimbangkan menambah jumlah wakil presiden sesuai sistem zonasi kewilayahan di Indonesia saat ini yang berjumlah empat wilayah.
"Negara ini dibangun atas fondasi kesepakatan perwakilan tokoh-tokoh daerah dengan pertarungan kualitas intelektual dan moral politik unggul. Bukan dibentuk atas paradigma dan orientasi politik praktis yang berdasar hanya pada kekuatan politik tertentu," tegasnya.
Senator muda asal Bengkulu itu juga menyampaikan, saat ini bangsa kita sedang berada di persimpangan jalan menuju negeri demokrasi madani.
"Kita harus memilih antara sistem presidensial yang cenderung mutlak dengan koalisi gemuk, atau menetapkan MPR RI sebagai lembaga perwakilan tunggal, sehingga tercipta demokrasi yang lebih proporsional dan ideal dengan suasana sosiologis bangsa," pungkas Sultan. (mar1/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sultan DPD RI Sambut Baik Kehadiran Badan Pangan Nasional
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi