Imlek 2019

Sumatera Negeri Perempuan dalam Kisah Sun Go Kong

Selasa, 05 Februari 2019 – 12:21 WIB
Nuansa Imlek. ILUSTRASI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Sun Go Kong si Kera Sakti tokoh legenda paling populer dalam khazanah pustaka Tiongkok. Ajaran Buddha yang disajikan dalam bentuk dongeng. Diangkat dari kisah nyata. Penulis naskah aslinya lama singgah di tanah Sumatera.  

Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Yeslin Wang Potong Rambut untuk Buang Sial

Kalender Masehi baru saja memasuki tahun permulaan, ketika Kaisar Ming Ti bermimpi; didatangi dan diajar seorang guru gaib.

Karena datang terus menerus, mimpi itu mulai dilamun-lamun. Jadi buah pikir Kaisar. Ternyata, guru gaib itu seorang Buddha.

BACA JUGA: Kejutan di Hari Imlek: 5 Karakter Panda Lucu Hadir Dalam Hoki Panda Village

Pada 63 Masehi, dua tahun sejak mimpi itu pertama datang, ia mengirim utusan untuk pergi mencari ajaran Buddha.

Dan, utusan itu kembali ke China pada 67 Masehi.

BACA JUGA: Pecahan Uang Rp 100 Ribu Laris Manis di Imlek 2019

Merujuk sejumlah literatur, ajaran Buddha memang mulai tumbuh di negeri tirai bambu pada masa Kaisar Ming, atau dikenal juga dengan sebutan Han Ming Di.

Sejak itu, utusan China berturut-turut berangkat ke India menyalin ajaran Buddha.

Biksu Faxian pada 399 Masehi. Biksu Song Yun pada 518 Masehi, dan lain sebagainya.

Yang paling terkenal adalah Biksu Yi Jing, atau yang lebih dikenal dengan sebutan pendeta I Tsing. Mengembara pada abad 7, catatan perjalanannya kemudian hari dirujuk sebagai pintu masuk mendedah sejarah Sriwijaya.

Selain I Tsing, pada abad 7, pengembara China yang pergi menjemput ajaran Buddha ke India adalah Biksu Tang Sanzang.

Nah, catatan perjalanan Pendeta Tang inilah yang mendasari lahirnya roman Sun Go Kong yang legendaris itu. Judul aslinya Xi You Ji atau disebut juga See Yu Ki.

Negeri Perempuan

Pada 2018 lalu, Filmko Picture merilis film The Monkey King 3: Kingdom of Women.

Film yang judul aslinya Xiyouji zhi Nu’erguo tersebut mengisahkan perjalanan Sun Go Kong dan kawanannya ke negeri perempuan.

Di mana negeri perempuan itu?

Xi You Ji atau See Yu Ki ditulis oleh Tang Sanzang. Mengisahkan perjalanannya pada 629 hingga 645 Masehi, kelana untuk menyalin kitab Yoga Sastra dari bahasa Sanskerta ke Mandarin.

Kemudian hari, berdasarkan catatan perjalanan Pendeta Tang, seorang penulis menggubahnya menjadi sebuah roman; Sun Go Kong.

Penulis itu bernama Wu Cheng-in, atau ada juga yang menulis Wu Cheng En. Hidup pada 1500 hingga 1582 Masehi, pada pada zaman Dinasti Ming.

Menurut Yan Widjaya, penggubah roman Sun Go Kong, terbitan Gramedia Pustaka Utama (Desember 2013), kisah itu pertama terbit pada 1592, sepuluh tahun setelah kematian Wu Cheng-in.  

BACA:  Sejarah Lahirnya Legenda Sun Go Kong

Karena menarik, kisah ini telah dialihaksarakan ke hampir semua bahasa. Termasuk Indonesia. Maskot utamanya Sun Go Kong, si kera sakti. 

“Banyak sekali buku, teater, sandiwara, opera, wayang potehi, film serial televisi mengenai dirinya. Banyak sekali film, bahkan serial televisi buatan Hongkong, Taiwan, China, Jepang dan lain sebagainya yang mencapai ratusan episode dengan berbagai versi,” papar Yan.  

Penerbit Bhuana Sastra juga menerbitkan roman tersebut dengan judul Xi You. Serialnya setebal-tebal bantal.

Xi You Ji,” sebagaimana termaktub dalam buku tersebut, “merupakan ajaran Buddha yang dituangkan dalam bentuk dongeng.”

Dikisahkan, Biksu Tang berangkat dikawal Sun Go Kong. Manusia berwujud kera yang tangguh. Ini perlambang akal dan kecerdasan manusia.

Lalu, Cu Fat Kai, manusia berkepala babi. Perlambang keserakahan dan hawa nafsu yang kerap membuat manusia terjerumus.

Kemudian, Sha Wujing. Siluman air perlambang kelemahan manusia yang punya keinginan baik, tapi tak sanggup menghadapi godaan.

Sosok utama lainnya yang menyertai Pendeta Tang, seekor kuda putih jelmaan naga.

“Ia perlambang tubuh manusia. Tang Sanzang sendiri melambangkan roh manusia yang harus mengendalikan keempat sifat itu,” tulis buku Xi You.

Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Xi You Ji atau See Yu Ki artinya perjalanan atau ziarah ke Barat. Orang banyak menafsir, dari China ke India.   

Mari buka peta! Perjalanan dari China ke India tak mungkin hanya ditempuh melalui jalur darat. Karena, di antara dua negeri itu dibatasi Gunung Himalaya.

Maka pada masa lampau, bisa dipastikan pengembara dari China ke India, begitu juga sebaliknya, melayari Selat Malaka.

Tak ayal perairan yang menghubungkan China dan Sumatera disebut Nan Hai; Laut China Selatan, laut jalurnya orang China ke Selatan.

Kata Nan Hai ini dipakai pula oleh Pendeta I Tsing untuk judul bukunya Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan. Yang artinya Kitab Buddha dari Laut Selatan.
 
Laut Cina Selatan, bersimpang tiga dengan Selat Malaka dan Laut Jawa di Muara Sabak, Jambi.
 
Di kawasan Pantai Timur Sumatera, bersemayam Candi Muara Jambi, reruntuhan negeri tua bercorak Buddha, yang—bagaimana pun—di masyarakatnya hidup sebuah kisah yang meriwayatkan penguasa pertama di Jambi seorang perempuan bernama Puti Selaro Pinang Masak. 
 
Di tengah-tengah pulau Sumatera, bersemayam Candi Muara Takus. Reruntuhan negeri tua bercorak Buddha di Hulu Sungai Kampar, Riau, yang di sekitarnya hidup masyarakat adat bersuku Domo.  
 
“Domo berasal dari kata Darma, Dama,” kata Mang Ling Bungsu, tetua di kawasan Candi Muara Takus, kepada media ini, pekan lalu. Darma adalah ajaran Buddha yang dalam aksara Pali disebut Damma.
 
Masyarakat adat Suku Domo menganut matrilineal. Garis keturunan ibu.
 
Dan, di Pantai Barat Sumatara, ada kelarasan Boddhi Caniago yang dianut masyarakat adat Minangkabau, yang juga menganut matrilineal.
 
Berdasarkan riset kecil-kecilan dan penelusuran langsung ke lokasi yang dilakukan JPNN.com, maka negeri perempuan atau Kingdom of Women atau Xiyouji zhi Nu’erguo yang diangkat film Monkey King 3, berlatar di tanah Sumatera.
 
Sebuah petunjuk tertera pula dalam kitab Xi You. Disebutkan bahwa pada 401 dan 520 Masehi, ada cerdik pandai datang ke Tiongkok dan menerjemahkan banyak sekali kitab Buddha ke bahasa China.
 
Namanya Kumarajiva atau Jiu Mo Luo Shi, dan “Boddhidharma yang dalam bahasa Tionghoa disebut Pu Ti Da Mo datang ke Tiongkok untuk mengajarkan aliran Chan atau Zen Budhisme,” tulis Xi You.
 
Perhatikan baik-baik diksi Boddhidharma, Pu Ti Da Mo, dan Chan. Kata-kata itu sebunyi, dekat sekali dengan Boddhi Chaniago, Puti, Domo, Darma.  
 
Pembaca yang baik, begitulah. "Kaba urang kami kabakan, duto urang kami ndak sato," begitu kata Tukang Kaba, pencerita di tanah Sumatara.   

Sekadar hiburan, di Hari Raya Imlek ini, sila puan dan tuan menonton film Kingdom of Women, serial ketiga Monkey King. Go Xi Fa Coi…(wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Imlek Tanpa Suami, Yeslin Wang: Kumpul Keluarga Aja


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler