Sumatra Siapkan Gerakan Pro Kakao

Kamis, 09 Juli 2009 – 22:54 WIB
JAKARTA - Ketua Umum dan Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) masing-masing Halim Abdul Razak dan Zulhefi menegaskan tiga provinsi di Sumatera saat ini tengah disiapkan menjadi produsen kakao terbesar nasional.

Hal tersebut ditegaskan Halim Abdul Razak menjelang pelaksanaan Gerakan Nasional (Gernas) Pro Kakao yang akan dilaksanakan 2010"Dari hasil survei di 10 provinsi di Sumatera, terdapat tiga provinsi yakni NAD, Sumut dan Sumbar yang ideal untuk penanaman kakao

BACA JUGA: Nasib Djoko Tjandra Di Atas Angin

Dari ketiga provinsi tersebut Askindo sangat berharap Sumbar mampu menjadi provinsi terbaik untuk produksi kakao nasional," ujar Halim, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/7).

Dia jelaskan, dari sisi kualitas tanah dan cuaca serta ketersediaan lahan, Sumbar relatif jauh lebih baik dan memadai dibanding dengan NAD dan Sumut
Dengan keunggulan alam yang dimiliki ini, sangat mungkin bagi Sumbar untuk menempatkan diri sebagai produsen kakao terbaik untuk tingkat nasional.

Selama ini, lanjut Halim, Askindo bekerjasama dengan pemerintah telah melakukan upaya pembudidayaan kakao terkosentrasi di kawasan timur Indonesia

BACA JUGA: Vonis Djoko Tjandra, MA Malah Dikecam

Langkah berikutnya adalah mengembangkan kakao di kawasan barat Indonesia.

Sementara Sekjen Askindo, Zulhefi menjelaskan, target Askindo dalam Gernas Kakao 2010 terdiri dari 3  hal yang terkait langsung dengan kakao seperti intensifikasi, rehabilitasi lahan seluas 60 ribu hektar dan peremajaan lahan seluas 20 ribu hektar.

"Intensifikasi meliputi penyuluhan yang dilakukan dengan bekerjasama dengan dinas perkebunan di kabupaten dan kota meliputi cara pemeliharaan tanaman serta pengendalian hama dan penyakit," ujar Zulhefi.

Sedang rehabilitasi akan difokuskan pada pekerjaan identifikasi pohon-pohon kakao yang umurnya masih muda tapi rendah produktifitasnya dengan cara melakukan 'sambung samping' atau menempelkan 'mata entres' pada batang pohon kakao yang akan direhabilitasi pada ketinggian 50 sentimeter.

Kebijakan Harus Dirubah
Terkait dengan Gernas Pro Kakao 2010, Askindo juga mendesak agar pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian segera melakukan perubahan terhadap beberapa kebijakannya terkait dengan kakao.

Pertama soal posisi pemerintah yang kini belum memiliki kebun-kebun yang dapat digunakan sebagai sumber mata entres
"Akibatnya Askindo terpaksa menggunakan mata entres yang bersumber dari kebun-kebun petani yang telah disertifikasi oleh institusi yang belum kualifait," kata Zulhefi.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga belum memiliki scope pekerjaan rehabilitasi karena pohon-pohon yang akan direhabilitasi tersebar di dalam hutan-hutan kakao sehingga menyulitkan untuk monitoring dan pengawasannya.

"Yang lebih memprihatinkan, seperti yang selama ini terjadi di kawasan timur Indonesia, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi diserahkan kepada perusahaan penyedia bibit yang sama sekali tidak berpengalaman dan tidak pula memiliki keahlian dalam merehabilitasi tanaman kakao," tegasnya.

Oleh karena itu, Askindo mendesak pemerintah agar memperlakukan sistem pengawasan ketat terhadap pelaksanaan rehabilitasi pohon kakao karena tingginya potensi kegagalan dan biayanya cukup besar

BACA JUGA: Penderita Flu Babi Capai 52 Orang

"Paling tidak, pemerintah menyediakan dana Rp1 triliun," kata Zulhefi.
 
Akibat sistem rehabilitasi yang diserahkan kepada pihak yang tidak kompeten, lanjutnya, produk kakao Indonesia menjadi turun"Tahun 2006 hanya 600 ribu ton, tahun 2007 menjadi 520 ribu ton, 2008 turun lagi menjadi 500 ribu dan tahun 2009 ini diprediksi hanya 480 ribu ton,” ujar Halim.
 
Askindo juga mempertanyakan sistem pendistribusian bibit gratis yang disediakan pemerintah yang dinilainya sangat rumit hingga harga bibit menjadi mahal dan memberatkan petani serta tidak efektifnya penggunaan anggaran pemerintah.

"Bibit yang digunakan itu dihasilkan oleh petani melalui teknik sambung pucuk bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) milik pemerintah di Jember, Jawa Timur yang selama mengembangkan teknik dinilai menghasilkan bibit lebih banyakNamun sistem pendistribusian bibit dari Puslitkoka diserahkan ke perusahaan besar penyalur bibit dan perusahaan itu menjualn ke dinas perkebunan di daerahSeharusnya distribusinya bisa langsung ke anggota Askindo," kata Zul.

"Sekarang ini Jember (Puslitkoka) dijual ke swasta, swasta ikut tender dinas perkebunan, lalu di jual ke dinasKenapa harus dijual ke swastaJadi harga bibitnya mahal, selama ini dijual oleh perusahaan-perusahaan besar penyalur bibit," ucapnya.

Ia mencontohkan dari produksi bibit kakao yang dihasilkan oleh Puslitkoka Jember harganya Rp 8000 per pohon sampai ke tangan petani, sedangkan kalau bibit genetik petani (sambung pucuk) oleh petani cuma Rp 3000-4000 per pohonMeskipun untuk program revitalisasi ini bibit yang diberikan kepada petani secara gratis(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BMKG Papua Harus Diperkuat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler