jpnn.com, JAKARTA - Wakil Direktur Polda Metro Jaya (Wadirkrimum) AKBP Jean Calvijn Simanjuntak mengungkapkan pelaku aborsi ilegal di Jakarta pusat tega membuang janin hasil operasi ke septic tank.
Hal itu diketahui, usai tim penyidik Polda Metro Jaya dan Tim laboratorium forensik (Labfor) melakukan identifikasi dengan membongkar saptic tank di klinik tersebut pada Rabu (9/9) lalu.
Saat penggeledahan dan penangkapan, satu pasien berinisial RS diamankan polisi bersama sembilan pelaku yang bekerja di klinik tersebut. Bahkan, saat penangkapan, pasien RS tersebut sudah telanjur melakukan aborsi. Sementara janinnya di buang ke dalam septic tank.
"Tim dari penyidik kemudian tim dari laboratorium forensik (Labfor) melakukan identifikasi bahwa telah melakukan bongkar septic tank untuk memastikan apa saja kandungan yang disedot itu merupakan tindakan-tindakan aborsi," ungkap Calvijn kepada wartawan di Gedung Direskrimum Polda Metro Jaya.
Bayi itu dibuang tersangka yang membantu dokter saat proses aborsi. Dibuang lewat toilet dalam ruang aborsi.
Usai dilakukan identifikasi, ditemukan darah di toilet itu identik dengan bayi tersangka RS yang merupakan ibu janin.
Dokter yang mengaborsi janin itu adalah DK (30). Dia adalah lulusan dari salah satu Universitas di Sumatera Utara, Medan.
BACA JUGA: Ya Ampun, Dokter DK Pelaku Aborsi Ilegal tak Punya Sertifikat Profesi, Ini Cara Kerjanya
DK ini diketahui pernah menjadi co-assitsten (KOAS) sebuah istilah yang disematkan bagi dokter muda yang telah menyelesaikan pendidikan di salah satu rumah sakit di Sumatera Utara.
Namun, DK hanya menjalani masa koas selama dua bulan sehingga tidak mendapat sertifikat sebagai seorang dokter.
BACA JUGA: Beroperasi Sejak 2017, Klinik Aborsi di Jakpus Ini Sudah Raup Rp10 Miliar Lebih
Kemudian, jelas dia, DK direkrut oleh pemilik klinik berinisial LA di Jalan Percetakan Negara 3, Jakpus. Meski tidak memiliki sertifikat seorang dokter, DK melakukam praktek aborsi ilegal di klinik tersebut.
Atas perbuatan ini, para tersangka dikenakan Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 194 Jo
Pasal 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (mcr3/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Fransiskus Adryanto Pratama