Super! Kerap Ditendang Sapi, Kini jadi Wisudawan Terbaik

Minggu, 11 September 2016 – 08:28 WIB
Wijayanto, wisudawan terbaik UMM tahun 2016 semester 2 yang juga perawat sapi (10/09). Foto: Bayu Eka Novanta/Radar Malang/JPNN.com

jpnn.com - YANG seperti ini baru pantas disebut super. Namanya Wijayanto. Orang tuanya melarang dia kuliah. 

Tapi, akhirnya dia menjadi wisudawan terbaik ke-81 UMM pada Sabtu (27/8). Seperti apakah perjuangannya? 

BACA JUGA: Dulu Jualan Soto Ayam Keliling, Sekarang Omzet Miliaran Rupiah

LIZYA OKTAVIA KRISTANTI-Malang

Wijayanto sempat bingung saat orang tuanya Miskan dan Sunarti melarangnya untuk kuliah setelah dia lulus SMK. 

BACA JUGA: Pria Tuna Netra Ini Menabung 11 Tahun Demi Beli Sapi Kurban

Padahal sejak SMP, dia sudah memimpikan untuk bisa kuliah di jurusan peternakan. 

Sebagai anak, dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Namun di sisi lain, dia juga punya cita-cita kuat untuk kuliah.

BACA JUGA: Ayu Azhari Senang Bisa Bikin Bule Bergoyang

Makanya, dia tidak membantah saat dilarang orang tuanya untuk kuliah. Wijayanto memilih diam saja mendengar larangan orang tuanya itu. 

Namun, meski mulutnya terkatup, keinginannya untuk kuliah tak pernah tertutup.

Maka, dia memilih caranya sendiri.  Setelah lulus  SMK Pertanian Pembangunan Wiyata Bakti Malang, Jurusan Peternakan, pada 2010 lalu,  dia bekerja di perusahaan minuman susu sapi milik PT Greenfields Indonesia di Desa Babadan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Jaraknya 35 km dari rumahnya di Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau.

Di sana, dia bertugas menangani kesehatan sapi. Mulai pagi hingga sore hari, pemuda jangkung itu menghabiskan waktunya di peternakan sapi tersebut.

Pekerjaan ini dilakukan dengan tekun, karena dia ingin mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan kuliah.

Setelah sekitar 2 tahun bekerja, pria bertinggi badan sekitar 175 cm itu memiliki tabungan yang bisa digunakan untuk mendaftar kuliah.

Dengan memperoleh gaji UMK (upah minimum kota/kabupaten) Malang, Wijayanto bisa menabung untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi tanpa membebani orang tuanya. 

Selama dua tahun menabung, akhirnya dia bisa mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 2012 lalu.

Kala itu, dia memilih Jurusan Peternakan UMM tanpa meminta izin orang tuanya. 

”Sebab, orang tua tidak suka saya kuliah. Mereka maunya saya disuruh kerja saja,”  kata pemuda kelahiran 28 Agustus 1991 itu.

Setelah diterima kuliah, Wijayanto meminta dispensasi kepada pimpinannya di PT Greenfields Indonesia agar diperbolehkan tukar jam kerja. 

Dia awalnya kerja di sif pagi yaitu mulai pukul 08.00–pukul 16.00, lalu meminta dipindah ke sif ketiga yaitu mulai pukul 22.00–pukul 06.00. 

”Karena pagi pukul 07.00–pukul 17.00 saya kuliah,” kata anak kedua dari dua bersaudara tersebut.

Selanjutnya, antara pukul 17.00–pukul 20.00, dia mengerjakan tugas kuliah. Setelah itu, biasanya dia istirahat selama satu jam. 

Sebab, pukul 21.00 dia harus berangkat ke PT Greenfields Indonesia untuk masuk kerja sif ketiga. 

Bekerja sebagai paramedis untuk sapi, membuat Wijayanto harus mengurusi segala penyakit hewan ternak tersebut. Seperti mastitis (sejenis kanker payudara pada hewan) dan pincang.

Untungnya, penyakit-penyakit tersebut aman dan tidak menular ke manusia. Namun risikonya, dia kerap menjadi korban dari tendangan sapi-sapi di sana. 

”Sapinya kan dilepas bebas. Jadi, kalau mereka saya periksa dan kesakitan, pasti refleks nendang,” jelasnya.

Sakit? Pastinya. Wijayanto harus sabar menghadapi kelakuan hewan favoritnya itu. Lebam biru-biru di paha atau tangan, sudah dia anggap hal yang biasa. 

”Sebulan sekali pasti kena tendangan sapi. Lebamnya baru sembuh selama seminggu,” paparnya. Beruntung, dia tidak pernah terluka parah karena pekerjaannya tersebut.

Sepulang dari peternakan, dia balik ke rumah dan berangkat kuliah. Aktivitas yang superpadat itu dia lakoni tanpa diketahui oleh orang tuanya. 

Namun, sepandai-pandai menyimpan rahasia, akhirnya terbongkar juga. Setelah dua tahun berjalan, orang tuanya baru tahu jika ternyata Wijayanto kuliah di UMM.

”Awalnya orang tua tanya, kok saya sering kecapekan. Akhirnya, saya ngaku kerja sambil kuliah,” ungkapnya.

Bagaimana reaksi orang tua setelah tahu dirinya kuliah? Menurut Wijayanto, kedua orang tuanya bersikap dingin-dingin saja. Mereka juga tetap tidak membantu untuk membiayai kuliahnya.

Sebab, Wijayanto dianggap bisa mencari duit sendiri. Sehingga praktis mulai mendaftar hingga wisuda, tak sepeser pun uang minta orang tuanya.

Kenapa begitu ngebet kuliah di jurusan peternakan? Menurut Wijayanto, mempelajari tingkah laku hewan ada banyak tantangannya, itu yang dia suka.

Dia merasa tidak bosan dan terus dibuat penasaran oleh tingkah laku mereka (hewan), khususnya untuk sapi.

Sehingga saat menempuh sekolah menengah atas, dia memilih masuk SMK Pertanian Pembangunan Wiyata Bakti Malang, Jurusan Peternakan.

Apa tidak lelah atau mengantuk? Anehnya, Wijayanto tidak merasakan hal itu sama sekali. Bahkan, dia bercerita bahwa salah seorang dosennya sempat memuji Wijayanto saat di depan kelas. 

Terutama saat ada teman sekelasnya yang mengantuk. ”Kamu yang tidak kerja kok ngantuk? Itu temanmu yang kerja saja tidak ngantuk,” ujar Wijayanto menirukan perkataan dosennya.

Karena aktivitasnya yang padat, Wijayanto mengaku tidak punya waktu lagi untuk bermain atau menjalin hubungan dengan lawan jenis. 

”Kalau ada waktu luang, saya buat istirahat saja. Gak pernah main sama sekali,” paparnya.

Menurut dia, tantangan semasa kuliah bagi Wijayanto adalah saat melakukan penelitian. Sebab, biaya penelitian di program studi peternakan tidaklah murah. 

Mahasiswa harus membeli hewan ternak sendiri. Dimana biayanya bisa mencapai jutaan rupiah. 

”Total saya sudah 6 kali beli sapi secara urunan (dengan kelompok). Tapi kalau benar-benar beli sendiri, sebanyak 2 kali. Harganya lumayan, sekitar Rp 2 jutaan per sapi untuk usia 1 hari,” hitung alumni SMPN 1 Dau tersebut.

Selain itu, jadwal mata kuliah yang tiba-tiba berubah, menjadi kesulitan tersendiri bagi Wijayanto. Sebab, dipastikan dia tidak bisa masuk kelas di jadwal yang berubah itu.

”Sering bentrok kalau ada dosen yang minta jadwal berubah. Akibatnya, saya jadi bolos. Dan itulah alasan kenapa IPK (indeks prestasi kumulatif) saya tidak sempurna,” jelas pria yang menyukai warna hijau ini.

Setelah ’bertempur’ dengan waktu selama 4 tahun, prestasi membanggakan berhasil Wijayanto raih dengan memperoleh IPK 3,96. 

Dia dinobatkan menjadi wisudawan terbaik ke-81 UMM. Bersama dengan Faridlotul Khasanah dari program studi Agroteknologi yang juga meraih IPK 3,96.

Menurut Wijayanto, orang tuanya sempat terkejut saat dia diumumkan menjadi wisudawan terbaik. 

”Mereka tidak pernah ngecek nilai saya. Tapi tiba-tiba jadi wisudawan terbaik,” ungkap pria yang menyukai makanan pedas ini.

Ke depannya, Wijayanto mengaku ingin menjadi wirausahawan di bidang peternakan. 

Bahkan, dia berencana melanjutkan kuliah S-2-nya di Institut Pertanian Bogor (IPB) atau Universitas Brawijaya (UB). Masih dengan jurusan yang sama, peternakan.(zya/c2/lid/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keseruan Menpora Nobar dari Layar Smartphone Bersandar Toples


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler