jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak 73 guru besar di sejumlah universitas yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Joko Widodo pada Senin (24/5).
Para guru besar meminta kepada presiden yang akrab disapa Jokowi itu agar mengawasi tindak tanduk Firli Bahuri cs dan menonaktifkan kembali 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
BACA JUGA: 9 Pegawai yang Dinonaktifkan Firli Bahuri Adalah Kasatgas KPK untuk Kasus Besar
Selain itu, Surat Keputusan (SK) yang diteken Firli Bahuri bisa dikategorikan pidana.
"Dalam pengamatan kami, ada banyak permasalahan yang perlu untuk dituntaskan. Mulai dari penanganan perkara yang tidak maksimal, serangkaian dugaan pelanggaran kode etik, sampai pada kekisruhan akibat kebijakan komisioner. Hal itu mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap KPK yang cukup drastis sejak 2020," kata salah satu anggota koalisi, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto dalam siaran pers yang diterima.
BACA JUGA: Hajatan Warga Seketika Berubah Menjadi Tragedi
Menurut Sigit, sejak awal, kalangan masyarakat sipil, organisasi keagamaan, maupun akademisi telah menganalisis keabsahan TWK ini.
Setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis tersebut.
BACA JUGA: Satpol PP Menuntut Masuk Formasi PPPK
Pertama, penyelenggaraan TWK tidak berdasarkan hukum dan berpotensi melanggar etika publik. Merujuk pada dua peraturan perundang-undangan,
yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Tidak ditemukan kewajiban bagi pegawai KPK untuk mengikuti TWK. Dua regulasi juga diperkuat oleh putusan MK yang menegaskan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. Maka dari itu, pelaksanaan TWK berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tidak dapat dibenarkan," kata dia.
Kedua, lanjut dia, diperoleh informasi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat mengikuti TWK terindikasi rasis (intoleran), melanggar hak asasi manusia, dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan kegagalan penyelenggara dalam memahami secara utuh konsep dan cara mengukur wawasan kebangsaan.
Selain itu, proses wawancara dilakukan secara tidak profesional dan cenderung tertutup. Isu ini menciptakan kecurigaan dan kritik tentang tujuan diadakannya TWK, dari berbagai kalangan yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi.
Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat sepertinya tidak dihiraukan oleh pemegang kebijakan tertinggi di KPK. Sampai pada akhirnya tanggal 5 Mei 2021 Komisioner KPK menyebutkan ada 75 pegawai yang dikategorikan tak memenuhi syarat (TMS).
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, sebagian besar pegawai KPK yang disebutkan TMS merupakan penyelidik dan penyidik perkara dugaan tindak pidana korupsi. Adapun perkara yang sedang mereka tangani berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat.
Mulai dari korupsi suap pengadaan bantuan sosial di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) berbasis elektronik, dan lain sebagainya.
"Tentu konsekuensi logis dari permasalahan ini akan berkaitan dengan kelanjutan penanganan perkara tersebut yang kemungkinan besar menjadi terhambat," kata dia.
Dengan berbagai permasalahan TWK, khususnya pada dampak penanganan perkara, besar kemungkinan ada sejumlah pihak yang merancang dan memiliki keinginan untuk mengintervensi proses penindakan.
Sebab, salah satu poin dari perintah Ketua KPK Firli Bahuri terhadap pegawai yang dikategorikan TMS adalah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya.
"Jika itu benar, maka hal tersebut berpotensi melanggar hukum Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau obstruction of justice," kata dia.
Guru Besar FH UI Sulistyowati Irianto menambahkan, pihaknya menilai kekisruhan internal KPK mesti segera diakhiri. Polemik tak berujung semacam ini berpotensi mempengaruhi citra Indonesia, khususnya dalam konteks Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Sebagaimana diketahui, pada akhir Januari lalu, Transparency International mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
"Sangat disayangkan, baik skor maupun peringkat Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Segenap masyarakat berharap besar agar penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi di KPK, dapat berjalan sebagaimana mestinya, tanpa gangguan kekisruhan internal lembaganya," kata dia.
Sulistyowati menyatakan Presiden Jokowi telah menunjukkan pernyataannya mengenai polemik dan kekisruhan TWK di KPK. Dia menjelaskan bahwa masyarakat mencatat Presiden Jokowi tidak sepakat dengan penonaktifan itu dengan mengutip putusan MK.
"Untuk memastikan agar tindak lanjut dari pidato Bapak Presiden dapat berjalan dengan baik, kami beranggapan akan sangat baik dan penting jika dilakukan pengawasansekaligus pengusutan atas permasalahan penyelenggaraan TWK ini," kata dia.
Terakhir, Koalisi Guru Besar Antikorupsi juga menyatakan siap untuk berdialog apabila Presiden Jokowi menginginkannya.
"Bapak Presiden yang kami muliakan, Kami sangat terbuka jika bapak ingin mengadakan dialog ihwal permasalahan yang kami sampaikan ini demi masa depan upaya pemberantasan korupsi Indonesia yang lebih baik," kata Sulistyowati. (tan/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga