Survei KedaiKOPI Mengikis Mitos Presiden Jawa

Rabu, 09 Februari 2022 – 23:20 WIB
Ilustrasi Pemilu/Pilpres. (ANTARA News/Ridwan Triatmodjo)

jpnn.com, JAKARTA - Kombinasi pasangan calon presiden dari Jawa dan wakil presiden dari luar Jawa paling banyak dilirik oleh pemilih dibandingkan dengan jika kedua pasangan calon berasal dari Jawa.

Demikian kesimpulan yang bisa diambil dari hasil survei terbaru KedaiKOPI bertajuk “Survei Peluang dari Luar Jawa” yang dirilis, Rabu (9/2).

BACA JUGA: Hasil Survei: Milenial dan Generasi Z Pilih Prabowo Presiden 2024

Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo mengatakan bahwa riset ini adalah lanjutan dari survei yang diadakan oleh KedaiKOPI pada November 2021 lalu.

Ketika itu terdeteksi 61% pemilih menginginkan presiden dari luar Jawa.

BACA JUGA: Hasil Survei, Anies Jadi Capres Unggulan Pilihan Warga Jakarta

“Ketika dipertajam melalui survei bulan Januari 2022, pemilih masih 50-50 menilai bahwa peluang capres dari luar Jawa besar, sedangkan 58,3% mengatakan calon dari luar Jawa berpeluang besar untuk menjadi wakil presiden," tutur Kunto dalam presentasi hasil surveinya.

Kunto mengatakan karena calon pemimpin dari luar Jawa didominasi oleh para gubernur, maka Lembaga Survei KedaiKOPI mencoba menanyakan kinerja dari para gubernur yang berpotensi menjadi pemimpin Indonesia di 2024.

BACA JUGA: Survei Capres: Prabowo Masih di Puncak, Anies dan Ganjar Tipis Banget

“Kami menanyakan terkait kinerja gubernur, Gubernur NTB Zulkieflimansyah dipersepsi sebagai gubernur di daerah Indonesia Timur yang paling memiliki kinerja baik, mulai dari penanganan COVID-19, pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan keamanan. Sedangkan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi merupakan gubernur di daerah Indonesia Barat non Pulau Jawa yang dipersepsi punya kinerja yang bagus," ujar Kunto.

"Di Pulau Jawa, Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta unggul dalam kinerjanya untuk menangani COVID-19, transportasi umum, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada survei yang dilakukan sebelum terjadinya peristiwa wadas melawan, dianggap berkinerja baik dalam mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, keamanan, dan pencegahan dan pemberantasan korupsi,” lanjut dia.

Menegaskan mengenai elektabilitas capres berdasarkan kelompok gubernur, Kunto menjelaskan bahwa Zulkieflimansyah sebagai salah satu calon potensial yang berasal dari luar Jawa juga unggul di wilayah Indonesia Timur dengan elektabilitas 42,6%.

Sedangkan dari wilayah barat non-Jawa nama Edy Rahmayadi mengantongi elektabilitas tertinggi dengan 35,5%.

Sedangkan untuk di Pulau Jawa, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membukukan elektabilitas 39,2% disusul dengan Anies Baswedan dengan elektabilitas 33,9%.

Dirinya menambahkan, data dari survei menggambarkan kombinasi capres dari Jawa dan cawapres dari luar Jawa akan lebih banyak didukung oleh pemilih dengan beragam alasan.

“Alasan responden dalam memilih kombinasi tersebut adalah pemerataan pembangunan, keseimbangan kekuasaan, dan memberi kesempatan bagi mereka yang di luar Jawa. Namun kombinasi pasangan dengan capres dari luar Jawa cenderung lebih sedikit didukung oleh pemilih dibandingkan dengan pasangan yang memiliki capres dari Jawa,” ujar dia menerangkan.

Berbicara mengenai media sosial, Kunto menyebutkan dari temuan survei sebanyak 80.7% responden menyatakan bahwa kepala daerah harus memiliki akun media sosial, tetapi pada kenyataannya lebih dari 80% responden menyatakan bahwa mereka tidak mengikuti akun media sosial kepala daerah manapun.

Terkait seberapa penting calon pemimpin memanfaatkan media sosial, selebriti Ronal Surapradja mengatakan bahwa masyarakat secara umum akan cenderung “membeli” konten media sosial para politisi yang tentunya menggambarkan semua sisi positif kehidupannya saja.

Dirinya juga memberi saran bagi para capres–cawapres bagaimana seharusnya menggunakan media sosial.

“Don’t use social media to impress people, but to impact people, karena belum tentu mereka yang follow, like, dan comment akan memilih saat pemilihan nanti,” ujar pria asal Bandung itu.

Pernyataan Ronal seakan diamini oleh hasil penelitian disertasi Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensat) yang menegaskan bahwa popularitas di media sosial tidak akan mempengaruhi angka elektabilitas.

“Media sosial itu bukanlah wadah yang tepat untuk menaikkan elektabilitas melainkan hanya dapat meningkatkan popularitas.”

Bagi pendakwah, Akmal Sjafril, media sosial selain dapat membuat seseorang menjadi populer, tetapi juga memilki dampak negatif yaitu “onar”.

“Dari perspektif Islam, pemimpin yang baik adalah yang dicintai oleh rakyatnya dan pemimpin juga mencintai rakyatnya. Dan bagaimana pemimpin bisa dicintai oleh rakyatnya? yaitu dengan cara dikenal. Di sini lah salah satu fungsi positif media sosial, yakni untuk mengenalkan,” tuturnya.

Survei Peluang dari Luar Jawa, diselenggarakan pada tanggal 17 – 24 Januari 2022 dengan metode survei Face to Face Interview (Computer Assisted Personal Interviewing), kepada 1201 responden yang berada di 34 provinsi dengan Error Sampling sebesar ± 2.83% pada pada interval kepercayaan 95.0%. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler