JAKARTA--Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Ma'arif, mengaku pihaknya sulit memindahkan warga dari lokasi rawan bencana. Akibatnya ketika terjadi bencana, jumlah korban jiwa tidak bisa terhindarkan. Seperti kejadian bencana alam longsor di Manado.
"Kita menghadapi persoalan ketika orang-orang yang tinggal di daerah-daerah rawan itu memang tidak mudah memindahkan mereka. Kita memohon kepada masyarakat kalau tinggal di satu tempat janganlah yang tingkat kemiringannya cukup landai. Nnantinya kemiringannya cukup tegak. Kayak di Manado itu di tengah kota kita enggak menyangka akan turun longsor," jelas Syamsul di Istana Negara, Selasa (19/2).
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Perumahan sudah tertulis jelas bahwa tidak boleh ada hunian warga di tempat yang rawan bencana. Tetapi yang menjadi masalah, tanah itu adalah milik warga bukan milik negara. Oleh karena itu, tidak mudah memindahkan warga yang berada di daerah rawan bencana.
Untuk melakukan relokasi rumah warga di Manado yang berada di titik rawan, kata dia, perlu kajian di luar. Tidak mudah jika itu juga menjadi tempat warga mencari nafkah.
"Apakah kalau dipindahkan dia bisa hidup? Bagaimana memindahkan sawah mereka kayak di Padang. Kemana harus menggembala sapinya? banyak sekali faktor-faktor, bukan masalah UU dan perda saja. Kalau perut mereka lapar, bisa melawan mereka. Itu jangka panjang," jelas Syamsul.
Menurutnya, awalnya beberapa tempat di Manado berupa tebing tetapi karena pertambahan penduduk pemukiman di tebingnya menjadi tegak dan rawan. Oleh karena itu, tuturnya, harus ada living harmony. Warga harus mempersiapkan alat-alat yang praktis dibuat jika tinggal di wilayah rawan longsor. Hal ini penting untuk mengantisipasi jika curah hujan terus meningkat, warga bisa segera mengungsi, sehingga tidak menjadi korban banjir dan longsor.
"Persoalan relokasi itu belum menjadi prioritas, meski sesungguhnya itu sudah harus dilakukan," pungkasnya.
Hingga saat ini jumlah korban yang meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Manado sudah mencapai 17 orang. Jumlah ini yang ia terima sejak pukul 00.00 Selasa, (19/2) dini hari.
"Ada 17 orang meninggal. Jadi saya yakinkan betul karena ada simpang siur ada berita yang meninggal itu lebih dari 20 orang. Itu warga sekitar, ada anak-anak dan ada satu keluarga semua hilang," ujar Syamsul di Istana Negara, Jakarta.
Menurut Syamsul dari data BMKG sudah menyebut bahwa kondisi cuaca masih rawan hingga saat ini. Hujan, kata dia, masih bergerak dari arah barat ke arah timur.(flo/jpnn)
"Kita menghadapi persoalan ketika orang-orang yang tinggal di daerah-daerah rawan itu memang tidak mudah memindahkan mereka. Kita memohon kepada masyarakat kalau tinggal di satu tempat janganlah yang tingkat kemiringannya cukup landai. Nnantinya kemiringannya cukup tegak. Kayak di Manado itu di tengah kota kita enggak menyangka akan turun longsor," jelas Syamsul di Istana Negara, Selasa (19/2).
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Perumahan sudah tertulis jelas bahwa tidak boleh ada hunian warga di tempat yang rawan bencana. Tetapi yang menjadi masalah, tanah itu adalah milik warga bukan milik negara. Oleh karena itu, tidak mudah memindahkan warga yang berada di daerah rawan bencana.
Untuk melakukan relokasi rumah warga di Manado yang berada di titik rawan, kata dia, perlu kajian di luar. Tidak mudah jika itu juga menjadi tempat warga mencari nafkah.
"Apakah kalau dipindahkan dia bisa hidup? Bagaimana memindahkan sawah mereka kayak di Padang. Kemana harus menggembala sapinya? banyak sekali faktor-faktor, bukan masalah UU dan perda saja. Kalau perut mereka lapar, bisa melawan mereka. Itu jangka panjang," jelas Syamsul.
Menurutnya, awalnya beberapa tempat di Manado berupa tebing tetapi karena pertambahan penduduk pemukiman di tebingnya menjadi tegak dan rawan. Oleh karena itu, tuturnya, harus ada living harmony. Warga harus mempersiapkan alat-alat yang praktis dibuat jika tinggal di wilayah rawan longsor. Hal ini penting untuk mengantisipasi jika curah hujan terus meningkat, warga bisa segera mengungsi, sehingga tidak menjadi korban banjir dan longsor.
"Persoalan relokasi itu belum menjadi prioritas, meski sesungguhnya itu sudah harus dilakukan," pungkasnya.
Hingga saat ini jumlah korban yang meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Manado sudah mencapai 17 orang. Jumlah ini yang ia terima sejak pukul 00.00 Selasa, (19/2) dini hari.
"Ada 17 orang meninggal. Jadi saya yakinkan betul karena ada simpang siur ada berita yang meninggal itu lebih dari 20 orang. Itu warga sekitar, ada anak-anak dan ada satu keluarga semua hilang," ujar Syamsul di Istana Negara, Jakarta.
Menurut Syamsul dari data BMKG sudah menyebut bahwa kondisi cuaca masih rawan hingga saat ini. Hujan, kata dia, masih bergerak dari arah barat ke arah timur.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polda Mengaku Kesulitan Cari Alat Bukti
Redaktur : Tim Redaksi