Susahnya Miliki Darah Langka di Indonesia

Rabu, 27 Juni 2012 – 09:27 WIB

Pemilik darah langka rhesus negatif yang diperkirakan hanya satu persen dari jumlah penduduk Indonesia bisa berlega hati. Pasalnya, pada 12 November 2011 telah terbentuk komunitas Rhesus Negatif Indonesia yang bisa menjembatani kebutuhan darah rhesus negatif bagi siapa saja.
   
AGUS WIRYAWAN, Jakarta

Jari-jari Natalia Cristanto, 35, tidak bisa lepas dari BlackBerry di genggamannya. Mimik mukanya sangat serius mencari bantuan darah AB rhesus negatif (AB-). Jenis darah yang sangat langka itu sedang dibutuhkan seorang bocah laki-laki di Medan.

Salah seorang anggota Rhesus Negatif Indonesia (RNI) asal Sumatera memberi tahu Natalia tentang kondisi kritis anak itu beberapa jam sebelumnya. Dia harus bergerak cepat karena anak itu butuh dua kantong darah AB-.

"Bapaknya masih merahasiakan penyakit anak itu. Apa pun penyakitnya, niat kami tulus. Kalau ada di antara kami yang punya, ya kami bantu," ujar Natalia saat ditemui di Caf" Double Dipped, Jakarta.

Golongan darah AB- memang paling langka. Data internasional menunjukkan darah rhesus O- hanya 4,3 persen dari penduduk dunia. Lalu golongan A- sebanyak 3,5 persen, B- sebanyak 1,4 persen, sedangkan AB- hanya 0,4 persen. Di Indonesia, dari 380 anggota RNI yang memiliki darah AB- kurang dari 50 orang.

"Itu pun belum tentu bisa donor karena bergantung pada kondisi kesehatannya. Bahkan, ada yang takut jarum atau takut darah," ujar humas RNI itu.

Tak berapa lama wajah Natalia ceria. "Yes, akhirnya dapat satu orang yang mau donor," pekiknya senang.

Yang lebih menggembirakan, anggota RNI itu bersedia segera terbang ke Medan guna menyumbangkan darahnya untuk membantu si pasien bocah. Langkah itu dipilih, kata Natalia, karena pengiriman darah lewat PMI Medan berbelit. Untuk itu, sebagian biaya akomodasi bagi si donor ditanggung kas RNI.

Kesulitan mencari darah langka ini rata-rata pernah dialami anggota RNI. Natalia mengaku baru mengetahui bahwa darahnya O- setelah terkena deman berdarah saat kuliah. Dia pun kelimpungan karena kesulitan mendapatkan donor darah yang sesuai. Bahkan, PMI pun angkat tangan.

"Saat itu Facebook, Twitter, BBM (BlackBerry Messenger) belum ada. Jadi, pasti agak sulit mencari donor," keluh wanita kelahiran Bandung 22 Desember 1977 ini.

Adik Natalia memang memiliki darah O-. Tetapi, saat itu tekanan darahnya drop dan baru siap diambil darahnya tiga hari kemudian. Padahal, kondisi Natalia sudah sangat mengkhawatirkan. Dia tidak sadarkan diri di ICU. Beruntung, ada dua ekspatriat yang memiliki darah O- dan bersedia mendonorkan darahnya.

"Akhirnya nyawa saya terselamatkan oleh sumbangan darah mereka," ungkap Natalia.

Sejak saat itu Natalia menyadari ada yang perlu dilakukan agar para pemilik golongan darah rhesus negatif tidak kesulitan mencari darah. Dia dan adiknya mulai mendatangi siapa saja yang memerlukan darahnya. Perlahan tapi pasti para pemilik darah rhesus negatif pun mau bergabung di situs www.rhesusnegatif.com. Akhirnya mereka bersepakat membentuk komunitas khusus para pemilik darah rhesus negatif pada 12 November 2011.
   
Para anggota RNI tidak bisa mengandalkan PMI karena PMI tidak pernah memiliki stok darah rhesus negatif. Alasan PMI, jarang yang meminta golongan darah itu. Apalagi, ada ketentuan bahwa lewat 30 hari darah harus dibuang. Sedangkan donor baru bisa diambil darahnya lagi setelah jeda waktu 75 hari.

"Makanya, kalau ada yang darahnya rhesus negatif, segera gabung ke RNI. Kalau bisa on call. Siapa tahu suatu saat kami butuh secara mendadak," lanjutnya.

Di pasar gelap, kata Natalia, harga darah rhesus negatif sangat mahal. Padahal, ada kemungkinan darah itu sudah dicampur cairan infus supaya volumenya meningkat. Di Surabaya sepuluh kantong dihargai Rp 7 juta (lewat perantara/calo). Sedangkan di Jogja satu kantong Rp 1 juta.

"Kami juga sering disodori amplop dari keluarga pasien yang membutuhkan darah kami. Tapi, dengan halus kami tolak. Kalau toh memaksa juga, amplop itu kami masukkan ke kas RNI buat akomodasi kalau ada anggota yang mau donor ke daerah," ungkapnya.

Begitu langkanya darah rhesus negatif, dalam setiap tes darah dokter pun meyakini bahwa 99 persen masyarakat Indonesia bergolongan darah A, B, O, atau AB sehingga tidak perlu tes rhesus. Padahal, proses tes darah rhesus sama, hanya cairan pengujinya yang berbeda.

"Jadi, sebenarnya golongan darah itu masih dibagi lagi, apakah A+ atau A-, lalu B+ atau B-, kemudian O+ atau O-, juga AB+ atau AB-," terangnya.

Hal itu penting untuk diketahui karena saat" pemilik darah rhesus negatif sakit, dia tidak bisa ditransfusi menggunakan rhesus positif. Tetapi, kalau sebaliknya bisa. "Jadi, kalau pemilik darah A- sakit, tidak bisa ditransfusi darah A+, meskipun darahnya sama-sama A. Kalau dipaksakan bisa gawat. Badan si A- bisa mengeluarkan antibodi yang menganggap A+ itu musuh," jelas Natalia.

Menurut Natalia, jika seorang perempuan rhesus negatif menikah dengan laki-laki rhesus positif, kehamilannya juga rawan. Sebab, bisa jadi anak yang dikandung memiliki darah yang berbeda dengan ibunya. Hal itu yang sering membuat seorang laki-laki harus berpikir dua kali sebelum menikah dengan perempuan yang punya darah rhesus negatif. "Tapi, kalau sudah cinta, apa pun tidak akan menjadi halangan," ujarnya lantas tersenyum.

Setelah menikah dengan Ardi Putra Utama yang berdarah rhesus positif, Natalia mengaku siap dengan segala risiko yang terjadi. Sebab, dia sering mendengar kabar bahwa anak dari pernikahan beda rhesus itu mayoritas akan meninggal. Karena itu, dia mengantisipasinya sejak dini.

"Saat hamil tujuh bulan dan 72 jam setelah melahirkan, saya harus disuntik vaksin agar tidak terbentuk antibodi. Harga vaksinnya Rp 2,5 juta sekali suntik. Itu pun belinya di Singapura," terang ibu Auyrina, 5, dan Attar, 4, tersebut.

Sementara itu, Christina, salah seorang pemilik darah AB-, mengaku sangat terbantu setelah bergabung di komunitas RNI. Perempuan setengah baya asal Jogja itu baru saja melewati operasi kanker payudara dengan bantuan darah sesama anggota RNI."

Sebelumnya Christina divonis kanker payudara stadium tiga setelah tiga bulan melahirkan anak pertama. Saat divonis dokter seperti itu, Christina sempat down. Namun, dibantu sang suami, dia mampu bangkit dari keterpurukan. Apalagi, dia menyatakan bahwa tugasnya sebagai orang tua belum selesai. "Saya harus merawat anak saya. Jadi, tugas saya belum selesai," tegasnya.

Christina tetap optimistis bisa menjalani itu semua dengan segala ketidaknyamanan, termasuk kemo terapi dan operasi yang membutuhkan banyak transfusi darah AB-.
"Meski bukan saudara sedarah, teman-teman di RNI sudah seperti saudara. Dengan bergabung di RNI, kami benar-benar mendapatkan teman senasib dan seperjuangan," tandas dia. (*/c2/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lika-liku Penjualan Tiket Euro 2012 di Luar Jalur Resmi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler