SEOUL – Setelah tertunda selama sekitar sembilan tahun, Aung San Suu Kyi akhirnya menerima penghargaan Gwangju Prize for Human Rights di sela kunjungannya ke Korea Selatan (Korsel) Kamis (31/1). Tokoh dan ikon demokrasi Myanmar tersebut mengaku sangat bahagia bisa menerima secara langsung penghargaan yang seharusnya dia terima pada 2004.
Dalam pidatonya, Suu Kyi mengucapkan terima kasih kepada May 18 Memorial Foundation, yayasan Korsel yang menganugerahkan penghargaan bergengsi tersebut. Setiap tahun yayasan itu sengaja memberikan penghargaan kepada kelompok atau individu yang dinilai berjasa dalam bidang demokrasi.
Suu Kyi juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada aktivis prodemokrasi Korsel yang menyaksikan penyerahan penghargaan tersebut. ’’Mereka semua adalah teman-teman sejati dan pejuang yang memahami tantangan serta kendala yang akan mereka hadapi,’’ ujar perempuan 67 tahun itu tentang pejuang demokrasi.
Ketika namanya ditahbiskan sebagai penerima Gwangju Prize for Human Rights pada 2004, Suu Kyi memang masih berstatus sebagai tahanan rumah. Karena itu, dia tak bisa meninggalkan Myanmar untuk menerimanya.
Setelah pemerintah Myanmar mencabut status tahanan rumah atas Suu Kyi pada 2010, putri pahlawan nasional mendiang Jenderal Aung San itu gencar menggelorakan demokrasi. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke mancanegara. Termasuk, Korsel yang akan segera berganti pemimpin (presiden) akhir Februari ini.
’’Dalam setahun terakhir saya punya banyak kesempatan peluang untuk bepergian ke luar negeri. Berkunjung ke negara-negara yang tidak pernah saya lihat selama sekitar 20 tahun terakhir,’’ ungkap Suu Kyi.
Tapi, menyaksikan perubahan yang terjadi di negara-negara yang dia kunjungi, ibu dua anak itu justru prihatin. Sebab, Myanmar belum bisa semaju negara-negara yang dia kunjungi tersebut.
Sebelum menginjakkan kaki ke Korsel, Suu Kyi sempat berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Di dua negara itu, dia menyaksikan kemakmuran dan kehidupan bernegara yang jauh lebih stabil dibandingkan Myanmar.
Namun, itu tidak membuat dia berkecil hati. Sebaliknya, dia justru terpacu untuk melakukan lebih banyak hal demi kemajuan Myanmar. ’’Saya yakin bahwa seiring kemajuan demokrasi di Myanmar, kami akan mendapatkan lebih banyak dukungan dan bantuan dari teman-teman sejati kami. Dengan begitu, Myanmar akan mampu mewujudkan perdamaian dan kemakmuran,’’ papar Suu Kyi. Dalam kunjungannya selama empat hari di Korsel, dia bertemu dengan Presiden Lee Myung-bak dan presiden terpilih Park Geun-hye. (AP/AFP/hep/dwi)
Dalam pidatonya, Suu Kyi mengucapkan terima kasih kepada May 18 Memorial Foundation, yayasan Korsel yang menganugerahkan penghargaan bergengsi tersebut. Setiap tahun yayasan itu sengaja memberikan penghargaan kepada kelompok atau individu yang dinilai berjasa dalam bidang demokrasi.
Suu Kyi juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada aktivis prodemokrasi Korsel yang menyaksikan penyerahan penghargaan tersebut. ’’Mereka semua adalah teman-teman sejati dan pejuang yang memahami tantangan serta kendala yang akan mereka hadapi,’’ ujar perempuan 67 tahun itu tentang pejuang demokrasi.
Ketika namanya ditahbiskan sebagai penerima Gwangju Prize for Human Rights pada 2004, Suu Kyi memang masih berstatus sebagai tahanan rumah. Karena itu, dia tak bisa meninggalkan Myanmar untuk menerimanya.
Setelah pemerintah Myanmar mencabut status tahanan rumah atas Suu Kyi pada 2010, putri pahlawan nasional mendiang Jenderal Aung San itu gencar menggelorakan demokrasi. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke mancanegara. Termasuk, Korsel yang akan segera berganti pemimpin (presiden) akhir Februari ini.
’’Dalam setahun terakhir saya punya banyak kesempatan peluang untuk bepergian ke luar negeri. Berkunjung ke negara-negara yang tidak pernah saya lihat selama sekitar 20 tahun terakhir,’’ ungkap Suu Kyi.
Tapi, menyaksikan perubahan yang terjadi di negara-negara yang dia kunjungi, ibu dua anak itu justru prihatin. Sebab, Myanmar belum bisa semaju negara-negara yang dia kunjungi tersebut.
Sebelum menginjakkan kaki ke Korsel, Suu Kyi sempat berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Di dua negara itu, dia menyaksikan kemakmuran dan kehidupan bernegara yang jauh lebih stabil dibandingkan Myanmar.
Namun, itu tidak membuat dia berkecil hati. Sebaliknya, dia justru terpacu untuk melakukan lebih banyak hal demi kemajuan Myanmar. ’’Saya yakin bahwa seiring kemajuan demokrasi di Myanmar, kami akan mendapatkan lebih banyak dukungan dan bantuan dari teman-teman sejati kami. Dengan begitu, Myanmar akan mampu mewujudkan perdamaian dan kemakmuran,’’ papar Suu Kyi. Dalam kunjungannya selama empat hari di Korsel, dia bertemu dengan Presiden Lee Myung-bak dan presiden terpilih Park Geun-hye. (AP/AFP/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kolumbia Akan Legalkan Ekstasi
Redaktur : Tim Redaksi