Syarat Capres Mulai Diperdebatkan

PKB Tolak Gagasan PAN, Ray Minta Tak Ada Syarat Apapun

Kamis, 10 Mei 2012 – 07:52 WIB

JAKARTA – Syarat dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden mulai menjadi perdebatan di kalangan elite parpol. Syarat yang terdapat dalam UU Pilpres itu yakni parpol yang berhak mengajukan calonnya adalah parpol atau gabungan parpol sedikitnya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional. Syarat ini kemudian ingin dihapuskan melalui gagasan yang disampaikan Teguh Juwarno dari PAN.

Gagasan itu ditolak Marwan Ja’far dari PKB. Menurut ketua Fraksi PKB ini,  gagasan untuk menghapus persyaratan tersebut dalam draft perubahan UU No. 42 tahun 2008 tentang Pilpres sama sekali tak masuk akal karena menggampangkan urusan dalam pencapresan dan pencawapresan itu. 

”Bagi PKB, kalau parpol hanya sekadar lolos PT boleh mengusulkan capres dan cawapres, maka yang tercipta justru instabilitas pemerintahan. Karena dukungan parlemen atas berbagai kebijakan pemerintah tidak akan kuat yang justru akan selalu terganjal di parlemen. Selain itu, tercipta pula kegaduhan politik yang terus menerus,” jelas Marwan Ja’far, Rabu (9/10) di Jakarta.

Menurut dia, dengan menghapus pasal 9 UU No.42/2008 tentang Pilpres seperti yang disampaikan Sekretaris Fraksi PAN di DPR, Teguh Juwarno, akan membuat kemunduran perpolitikan nasional. ”Sistem presidensil atas dasar multi partai yang ada dalam sejarah perpolitikan nasional akan mundur lagi. Sebab selama ini parpol di Indonesia tidak pernah ada yang menjadi mayoritas tunggal kecuali era Orde Baru,” jelas Marwan.

Karena tidak ada parpol yang menjadi mayoritas tunggal itulah, kata dia, maka diperlukan koalisi untuk memperkuat dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah di melalui parlemen. Untuk itulah  diperlukan persyaratan ketat dalam UU Pilpres agar tidak menggampangkan persoalan dalam urusan capres dan cawapres.

”Bayangkan kalau 9 parpol yang lolos PT 3,5 persen lantas ada 9 pasangan capres-cawapres, kemudian salah satu pasangan menang, maka di parlemen parpol dari pasangan itu bisa dikepung 8 parpol yang pasangannya kalah. Berabe kan?” urai Marwan.

Dia menegaskan, persyaratan di dalam pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pilpres justru dalam draft perubahan UU itu seharusnya dinaikkan lagi batasannya. Menurutnya, dalam UU itu batasannya parpol atau gabungan parpol sedikitnya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional dalam mencalonkan capres dan cawapres.

”Bagi PKB harusnya ini dinaikkan lagi menjadi 25 persen kursi DPR dan 30 persen  perolehan suara sah secara nasional. Supaya siapapun pemenangnya dapat mewujudkan kebersamaan dalam mengelola negara ini,” pungkasnya.

Namun Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti punya pendapat berseberangan dengan Marwan Ja’far. Dia justru mendukung penuh gagasan menghapus persyaratan itu. Ray mengatakan, gagasan menghapus pasal 9 dalam UU Pilpres itu setidaknya mengembalikan semangat konstitusi yang tidak mengenal batasan kursi dan suara dalam pencapresan.

”Jelas-jelas dalam konstitusi kita, di UUD 1945 menyebutkan siapa saja warga negara Indonesia berhak untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden. Tidak ada itu batasan parliamentary threshold atau presidensial threshold yang justru menyempitkan makna konstitusi kita,” kata Ray kepada INDOPOS (Grup JPNN).

Menurut dia, dengan munculnya ketentuan dalam UU Pilpres itu membuat warga negara Indonesia sudah tidak bebas lagi untuk maju sebagai capres. ”Pendapat para ahli undang-undang di DPR itu kan salah kaprah semua. Mereka berdalih negara ini kan menggunakan sistem presidensil, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita khusus soal pencapresan menerapkan sistem liberal, bahwa siapapun warga bangsa ini bisa menjadi capres,” urainya.

Dia membeberkan, negara Indonesia yang awalnya menerapkan sistem parlementer namun pada kenyataannya tidak ada satu pun kabinet  yang bertahan selama 5 tahun penuh. Baik kabinet Hatta, Syahrir, Juanda, dan lainnya.

”Dalam sistem parlementer itu tidak ada kabinet yang bisa full kerja 5 tahun. Pasti jatuh di tengah jalan. Makanya beralih ke sistem presidensil biar presiden dan kabinetnya dikukuhkan bisa full bekerja selama 5 tahun. Tidak pernah ada itu bikin parliamentary threshold dan presidensil threshold segala. Sekarang ini salah kaprah,” jelas Ray panjang lebar.

Adanya asumsi persyaratan pilpres mutlak diperlukan untuk membuktikan adanya dukungan awal juga ditentang Ray. ”Kalau begitu kenapa tidak boleh ada calon independen? Kenapa Mahkamah Konstitusi menolak adanya calon indpenden? Kenapa dalam pilkada boleh ada calon independen? Pada dasarnya orang sudah tidak bebas lagi dicalonkan karena peraturan-peraturan itu,” pungkas Ray. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MK Tolak Gugatan Pilkada Acut dan Pidie


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler