Syariat Islam Berjalan Lambat

Jumat, 31 Mei 2013 – 05:32 WIB
BANDAACEH--Mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Prof. Dr. Alyasa’abu Bakar menilai penerapan syariat Islam di Aceh berjalan lambat. Meski pun di Aceh syariat Islam dimulai pada tahun 2002.
 
Disisi lain, dalam perjalanan sejarah, penerapan dan pengamalan di suatu masyarakat lebih banyak berperan sebagai ajaran yang selalu berusaha merekayasa masyarakat untuk berubah dan mengikuti nilai budaya dan sikap mental yang diinginkan Islam. Namun, terkadang masyarakat menyesuaikan ajaran Islam lebih melestarikan nilai budaya dan sikap mental suatu masyarakat.
 
“Kita melihat penegakan syariat Islam di Aceh perlu perencanaan yang matang. Sebab bila ditinjau syariat Islam masih belum ada perencanaan. Walau pun syariat Islam sudah lama berjalan,”ujarnya pada Diskusi AJI Banda Aceh tentang Etika Pemberitaan syariat Islam, Kamis (30/5).
 
Selain itu, katanya, dengan pengamalan syariat Islam, seharusnya menjadikan pemeluknya sebagai manusia dan masyarakat utama mempunyai nilai budaya dan sikap mental. Dalam Undang - Undang tahun 44 tahun 1999, lanjutnya, yang menjadi keistimewaan Aceh sebagai pintu masuk penerapan syariat Islam merupakan pendidikan, hukum, adat istiadat, serta peran ulama sebagai penasehat pemerintah.
 
Namun, Undang - Undang Nomor 11 tahun Tahun 2006, Syariat Islam dipahami sebagai hukum yang meliputi hukum keluarga, hukum perdata keharta bendaaan. Sedangkan aspek syariat Islam yang lainnya dimasukan sebagai nilai bagian dari otonomi daerah dan otonomi khusus.
 
Pelaksanaan syariat Islamdi Aceh masih ‘primadona’, sepertinya pelaksanaan syariat Islam qanun nomor 12,13 dan 14 tahun 2003 sebetulnya masih dalam proses, karena belum sampai ke bentuk final apalagi ideal.
 
“Syariat Islam di Aceh ini masih dalam proses. Tetapi, jangan penerapan bagi pelanggaran syariat Islam ditujukan bagai kalangan miskin,”ungkap Dosen Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry ini.
 
Dikatakannya, penerapan syariat Islam mendapat tantangan dari luar, namun, bagaimana pun pemerintah wajib melaksanakan syariat Islam dengan memberikan hukuman bagi pelanggarnya.
Terkait pemberitaan media yang sehat dan bersyariat, tentu, menjadi dambaan dari pemberitaan media khususnya di Aceh. Sebagai, media memberikan informasi kepada masyarakat sesuai dengan fakta dan dapat dipertanggungjawabkan.
 
“Publikasi pada surat kabar harian dan mingguan, cenderung bersifat popular, melenceng dari substansi, menimbulkan bias, merugikan pihak dan tidak bisa mencerahkan masyarakat. Dipihak lain, mungkin secara tidak disadari atau karena terdorong oleh kepentingan tertentu, banyak pemberitaan di media massa yang merugikan masyarakat sekiranya media ikut andil dalam penerapan syariat Islam,”paparnya.
 
Sementara itu, staf bidang keamanan dan ketertiban (Trantib) Satpol PP/WH Aceh Nasrul Miadi, dalam pemaparannya menyampaikan, syariat Islamdi Aceh sudah final. Sebab, syariat Islam di Aceh bukan menjaditanggungjawab satpol PP/WH, tetapi, merupakan tanggungjawab semua rakyat Aceh untuk mencegah kemungkaran. Selain itu, penerapan syariat Islam di Aceh butuh perjuangan dan waktu. Satpol PP/WH dalam bertugas mengacu pada protap Kemendagri tahun 2006.
 
Secara terpisah, Ruwaida bidang majelis perempuan dan syariat Islam balai urueng inong Aceh menilai perempuan lebih suka menjadi korban dari pemberitaan media yang nyaris tidak bersyariat. Sebab, perempuan masih sering di pojokan dari kebanyakan pemberitaan.(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengadilan Bongkar Gerbang Sel Transit

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler