jpnn.com, JAKARTA - Berbagai isu bermunculan terkait wacana amendemen UUD NRI 1945. Mulai dari perlu tidaknya menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara, posisi kelembagaan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), hingga pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dilakukan oleh MPR.
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengatakan posisi MPR tetap sebagai lembaga tinggi negara. Dia tidak setuju kalau MPR dijadikan lembaga tertinggi negara. “Masa ada pemikiran mau dinaikkan menjadi lembaga tertinggi negara,” kata Syarif kata Syarief dalam diskusi “Menata Kewenangan MPR” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/10).
BACA JUGA: Menteri Siti: Jangan Usai Salat Jumat, Langsung Kabur dari Kantor!
Wakil ketua umum Partai Demokrat itu menambahkan kalau MPR mau dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, berarti presiden adalah mandataris MPR.
Menurut Hidayat, hal ini tidak baik untuk demokrasi. “Sayang, demokrasi kita sekarang ini kan sudah bagus, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Saya pikir ini yang harus dipertahankan,” ungkap wakil ketua umum Partai Demokrat itu.
BACA JUGA: Amendemen UUD Jadi atau Tidak, Sebaiknya Rakyat Tetap Terlibat
Mantan menteri koperasi era Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengatakan proses demokrasi Indonesia sekarang sudah semakin maju.
Karena itu, lanjut dia, sayang sekali kalau terjadi setback demokrasi dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan pemilihan presiden dan wapres tidak langsung oleh rakyat lagi.
“Saya pikir tidak bagus untuk demokrasi, dan tentunya tidak bagus juga untuk rakyat. Karena rakyat itu kan memiliki hak untuk memilih pemimpinnya dalam hal ini presiden dan wakil presiden,” papar Syarief.
Lebih lanjut Syarief mengatakan, MPR akan menyambangi lapisan masyarakat untuk meminta masukan terkait persoalan amendemen maupun pokok-pokok haluan negara.
Menurut dia, kalau badan dan komisi MPR sudah tuntas, maka sudah bisa bekerja secara maksimal.
“Dan kami akan mulai dengan rutin mengunjungi tokoh-tokoh lainnya dan berdialog dengan adik-adik kita mahasiswa untuk mendapatkan masukan. Jadi, kami 10 pimpinan akan menyebar ke seluruh Indonesia,” katanya.
Tidak hanya dalam negeri, kata dia, warga negara yang concern dalam menegakkan demokrasi ini seperti para tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang cukup banyak, juga perlu diserap aspirasinya.
Syarief memastikan tidak ada batasan waktu sampai kapan kajian akan dilakukan. Menurut dia, persoalan ini sangat dinamis. Tidak bisa ditentukan kapan harus selesai.
Kalau ditarget, maka akan dikejar waktu. “Kami takutnya kalau dikejar waktu, sosialisasi menampung aspirasi dan pandangan masyarakat itu juga belum selesai, sementara penduduk kita 260 juta,” ungkapnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy