jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mempertanyakan komitmen pemerintah untuk tidak ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Pasalnya, pemerintah Indonesia kembali menerima pinjaman dari Australia Rp 15,4 triliun dengan batas waktu pelunasan 15 tahun.
BACA JUGA: Syarief Hasan: Pemerintah Harus Buktikan Bisa Keluar dari Resesi dengan Omnibus Law
"Pinjaman dari Australia ini makin menambah besaran utang luar negeri yang dimiliki Indonesia," kata Syarief.
Dia menjelaskan dalam catatan Bank Indonesia, utang luar negeri meningkat dan telah mencapai USD 413,4 miliar atau setara Rp 6.098,27 triliun pada Agustus 2020.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Syarief Hasan Beri Kritik Agak Keras ke Pemerintah
Bahkan, World Bank baru saja merilis laporan International Debt Statistics (IDS), Selasa (13/10), yang memasukkan Indonesia ke dalam daftar 10 negara berpendapatan kecil dan menengah dengan utang luar negeri tertinggi di dunia.
"Tidak tanggung-tanggung, Indonesia menempati urutan keenam," ungkapnya.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri Indonesia Terus Menumpuk
Dalam laporannya, Bank Dunia menyebutkan terjadi peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia 5 persen dari 2018 yang tercatat USD 379,58 miliar.
Namun, apabila dibandingkan posisi utang luar negeri Indonesia 2019 dengan 10 tahun sebelumnya, maka ada peningkatan hingga 124 persen.
"Adapun posisi utang luar negeri Indonesia 10 tahun lalu di 2009 hanya sebesar USD 179,40 miliar," jelasnya.
Syarif yang juga anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu melihat bahwa besarnya utang negeri yang dimiliki Indonesia harusnya menjadi prioritas agar dikelola dengan baik sebagaimana janji pemerintah.
“Utang luar negeri yang makin membeludak akan makin membebani keuangan negara di tengah pandemi Covid-19 dan akan menimbulkan banyak masalah di bidang ekonomi.” ungkap Syarief.
Mantan menteri koperasi dan usaha kecil menengah itu mengingatkan pemerintah terkait rasio utang luar negeri terhadap Gross National Income (GNI) yang telah mencapai 38,64 persen.
“PNB Indonesia berkisar Rp 15.779,7 triliun. Dengan utang luar negeri mencapai Rp 6098,2 triliun berarti rasionya berkisar 38,64 persen," ujar Syarief.
Menurut Syarief lagi, kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia kurang baik.
"Indikator ini juga menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia makin memburuk," tegas Syarief.
Ia juga menegaskan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengelola utang luar negeri.
Sebab, ujar dia, rasio utang Indonesia kemungkinan akan naik beberapa tahun mendatang akibat tekanan pandemi Covid-19.
"Belanja pemerintah terus meningkat seiring dengan penyusutan penerimaan negara ditambah utang yang makin membengkak," jelas Syarief.
Ia juga menilai alasan pemerintah menerima pinjaman dari Australia tidak akan menyelesaikan persoalan utama pandemi Covid-19.
“Persoalan utama pandemi Covid-19 baik kesehatan, ekonomi, maupun sosial bukan terletak pada persoalan dana tetapi terletak pada persoalan manajemen penanggulangannya," ungkap Syarief.
Ia menyebutkan bahwa selama ini pemerintah telah mengucurkan dana besar hingga Rp 800 triliun untuk menanggulangi Covid-19 namun tidak membuahkan hasil yang optimal.
Menurutnya, ekonomi Indonesia malah terkontraksi minus dan resesi pertama kali sejak 1999 padahal sudah dikucurkan dana besar.
"Ini membuktikan bahwa persoalannya ada pada manajemen penanganan pandemi dan pengelolaan prioritas anggaran," ungkap Syarief.
Ia menilai pemerintah lebih banyak menganggarkan pemulihan ekonomi nasional pada sektor usaha besar, termasuk BUMN.
Padahal, kunci penyelesaian persoalan ekonomi terletak pada UMKM dan koperasi yang selama ini berkontribusi 63 persen terhadap PDB dan menyerap 96 persen tenaga kerja Indonesia.
"Pemerintah harus mengoptimalkan penguatan UMKM, koperasi, dan ekonomi grassroot apabila ingin menguatkan ekonomi. Sebab, merekalah tulang punggung ekonomi Indonesia," pungkas Syarief. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi