Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tergabung dalam kelompok T-Files memberikan harapan akan pemenuhan energi alternatif. Mereka mengembangkan pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL).
M. DINARSA KURNIAWAN, Bandung
Nurana Indah Paramita tampak bersemangat saat memberikan materi di acara workshop Wirausaha Muda Mandiri (WMM) dan Mandiri Young Technopreneur (MYT) di Trans Ballroom, Bandung, Kamis (11/10) lalu. Perempuan kelahiran Bandung, 4 April 1985, itu berbicara mewakili T-Files, kelompok yang dipimpinnya, yang tahun lalu dinobatkan sebagai juara MYT 2011 karena inovasi PLTAL yang mereka hasilkan.
Saat itu, cewek chubby yang biasa disapa Mita tersebut mempresentasikan karya mereka. Tak lupa Mita menjelaskan suka-duka yang mereka alami selama proses penciptaan.
"Kami sempat hampir putus asa. Percobaan kami sering gagal, proposal kami juga sering ditolak," kenangnya. "Tapi, karena kami berpikir ke depan, teknologi ini akan sangat berarti bagi masyarakat luas, kami maju terus," lanjutnya.
Ketika proyek jadi, mereka kembali dihadapkan pada persoalan. Tak ada investor dalam negeri yang mau menanamkan modal untuk proyek ini. Yang ada justru investor dari Jepang. Namun, lantaran mereka lebih mengedepankan nasionalisme bahwa teknologi tepat guna tersebut untuk kebutuhan rakyat Indonesia, tawaran investor asing itu pun ditolak.
Akhirnya, sejak Februari lalu, T-Files menjadi sebuah holding company yang membawahkan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang marine current turbine, mining engineer, information technology, design and art, serta event organizer. Sepuluh persen saham T-Files dimiliki ITB yang sejak awal memberikan dukungan penuh. Mereka juga bekerja sama dengan Kementerian BUMN.
Berkat kerja keras Mita dan 12 kawannya, PLTAL kini telah diaplikasikan di sejumlah daerah. Yaitu, di Bali, Lombok, dan di Jembatan Suramadu, Surabaya-Madura. Ke depan mereka juga akan menggarap proyek di Jembatan Selat Sunda.
Tim T-Files merupakan satu kelompok mahasiswa dari berbagai jurusan yang memiliki minat sama dan menjadi bagian kelompok lembaga Inkubator Bisnis dan Industri ITB. Kelembagaan ini untuk mendorong mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmu teknologi yang dipelajari selama kuliah.
Sebenarnya, turbin arus laut yang mereka garap itu merupakan tugas akhir (TA) yang disusun bersama-sama. Mereka menggarap proyek itu pada 2005. "Ide awalnya, kami ingin membuat karya teknologi yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi rakyat," ucap Mita yang kini dipercaya menjadi direktur PT T-Files Indonesia.
Mereka tergerak membuat karya inovatif itu mengingat Indonesia merupakan negara kelautan (maritim) yang hingga kini belum memanfaatkan potensi yang dimiliki sebagai pembangkit listrik tenaga arus laut. Mereka sempat mempertimbangkan sumber energi lain, seperti panas bumi (geotermal), tapi tak semua tempat di Indonesia memiliki gunung vulkanik. Adapun solar cell hanya menghasilkan listrik saat ada sinar matahari.
Lulusan Oseanografi ITB itu mengakui, sebenarnya apa yang mereka ciptakan bukan yang pertama di dunia. Dia menyebut, di Inggris sudah ada teknologi serupa. Namun, teknologi T-Files disesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia. Berbeda dengan yang dikembangkan di Eropa, modifikasi turbin T-Files mampu beroperasi dengan tenaga arus laut lemah sampai 0,3 meter per detik.
Arus laut mencapai titik paling lemah ketika terjadi peralihan pasang ke surut atau sebaliknya. Mita menuturkan, perangkat turbin arus laut memiliki bagian utama berupa konstruksi penahan beban yang terbuat dari bahan galvanis logam tahan karat. Konstruksi tersebut berfungsi sebagai penopang generator di atas turbin. Kemudian disangga dua pelampung yang dilengkapi pemecah ombak di sisi kiri dan kanan.
Pemecah ombak itu berguna untuk mengalihkan gelombang sehingga gelombang laut tinggi tidak mengempas perangkat turbin. Peralatan berikutnya berupa sebuah jangkar. Setiap kali terjadi perubahan arus laut, penyesuaian posisi turbin memungkinkan mengikuti arah arus.
Posisi turbin di bawah generator terbuat dari fiberglass yang bentuk dan ukurannya meniru teknik airfoil yang memungkinkan perputaran meski arus laut lemah. Ada tiga sirip turbin yang memiliki lubang di bagian atas dan bawah. Dengan lubang-lubang itu, air laut masuk untuk menambah daya dorong sirip menggerakkan turbin.
Dari segi ukuran, turbin arus laut tidak terlampau memakan tempat. Perangkat turbin yang dipasang di Nusa Penida, Bali, yang merupakan debut proyek mereka, berukuran 4,5 x 2,5 x 2 m, menghasilkan listrik 5 ribu watt. Proyek itu menelan investasi sekitar Rp 160 juta. Saat ini mereka sudah mampu membuat turbin yang menghasilkan listrik sampai 10 ribu watt.
Mereka juga mampu membuat turbin dengan model solid structure, seperti yang mereka kerjakan di Jembatan Suramadu. "Kami melakukan percobaan ratusan kali, dan biayanya mencapai ratusan juta untuk itu. Sampai akhirnya kami berhasil. Uji coba pertama di Kepulauan Seribu," paparnya.
Kendala yang mereka hadapi tidak hanya teknis. Teamwork dan komitmen ke-13 member T-Files juga kerap mendapat cobaan. Mita mengakui, menyatukan mahasiswa ITB yang punya ego besar bukan hal mudah. Tapi, tekad untuk memberikan kontribusi kepada rakyat, menyolidkan mereka.
Dari situlah mindset mereka sebagai seorang teknokrat kampus berubah. Penerapan teknologi tidak hanya membutuhkan ilmu semata, tapi memerlukan keahlian lain agar semua berjalan lancar. Di samping itu, aspek bisnis kini harus mereka pikirkan.
Masalah yang kerap mereka hadapi di lapangan, antara lain, terkait lambannya birokrasi dan adat istiadat. "Kami sering tersandung birokrasi lokal. Di era otonomi daerah (otoda) saat ini, setiap daerah berhak membuat keputusan sendiri," paparnya.
Pengalaman-pengalaman menarik juga mereka rasakan. Misalnya, saat di Bali mereka harus mengikuti upacara adat. Mereka juga tidak bisa membangun turbin di tempat yang ideal secara teknis, karena lokasi itu merupakan tempat membuang abu jenazah.
Sebagai teknokrat dan pebisnis, Mita merasa sudah meraih kesuksesan. Saat ini 13 anggota T-Files sudah menjabat direktur di perusahaan di bawah bendera T-Files. "Namun, kami harus tetap selalu down to earth dan mengingat dari mana kita berasal," tandasnya. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga di Kawasan Penjarahan Minyak di Sumsel yang Hidup di Antara Pencemaran dan Kecemasan
Redaktur : Tim Redaksi