Saat masih duduk di bangku sekolah, Masaki Sashima pernah diseret keluar kelasnya dan dipukuli oleh teman-temannya.

Masaki, kini berusia 72 tahun, berbeda dari anak-anak lainnya.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Kebakaran Hutan Melanda Sejumlah Negara Bagian di Australia

Ia berasal dari suku Ainu, warga Pribumi di Jepang yang kebanyakan tinggal di pulau Hokkaido.

"Saat jam istirahat, pintu lorong terbuka, beberapa anak-anak berteriak minta saya keluar keluar," katanya.

BACA JUGA: Video Viral Bagi-Bagi Sayur di Pesta Pernikahan, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

"Saya diam saja di meja saya di kelas."

"Semua orang lalu mengepung saya dan memukuli saya."

BACA JUGA: Tiongkok Mencoba Mengubah Kawasan Muslim Xinjiang Jadi Pusat Pariwisata

Sudah lama Jepang menyebut dirinya sebagai negara yang homogen dari segi budaya dan etnis.

Hal ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai kunci keberhasilannya sebagai sebuah bangsa.

Lebih dari 98 persen penduduk Jepang adalah keturunan suku Yamato.

Tapi suku Ainu berbeda, dengan sejarah, bahasa, dan budaya mereka sendiri.

Sebagai korban kolonialisme, asimilasi, dan diskriminasi di Jepang, sebagian besar identitas Ainu sudah hilang.

"Generasi orang tua kami sama sekali tidak mewariskan budaya Ainu," kata Masaki.

Baru empat tahun yang lalu Jepang mengeluarkan undang-undang yang secara resmi mengakui Ainu sebagai masyarakat adat atau warga Pribumi.

Perubahan ini membuat dibukanya tempat-tempat wisata baru, seperti museum.

Namun sejumlah pihak mengkritik dengan mengatakan reformasi ini terlalu menekankan simbolisme, tanpa banyak substansinya.

Suku Ainu saat ini lebih memperjuangkan hal yang mendasar, yakni memperjuangkan hak-hak mereka.Orang-orang yang hilang

Sebagai ketua Bangsa Raporo Ainu, Masaki memimpin upaya membawa pemerintah Jepang ke ranah hukum, agar memberikan izin kepada kelompok masyarakat adat untuk menangkap ikan salmon di Sungai Tokachi, Hokkaido.

Salmon adalah hewan yang dihormati dalam budaya Ainu, karenanya ada 133 kata yang digunakan untuk menggambarkannya.

Ikan ini bukan sekedar sumber makanan, tapi kulitnya juga bisa digunakan untuk membuat sepatu bot.

Namun suku Ainu dilarang memancing di sungai selama era Meiji, antara tahun 1868 dan 1912.

Aturan tersebut jadi bagian reformasi besar-besaran untuk memasukkan Hokkaido ke dalam wilayah Jepang.

Hak atas tanah bagi suku Ainu dilucuti, begitu juga praktik penangkapan ikan, untuk kemudian dipaksa berasimilasi dengan budaya Jepang dengan disahkannya undang-undang perlindungan masyarakat adat.

Suku Ainu pun seolah jadi orang-orang yang dihilangkan.

"Kondisi kami kelaparan," kata Masaki.

"Ainu yang kehilangan mata pencahariannya kelaparan. Mereka menghilang dan lenyap dari kawasan Sungai Tokachi."

Saat ini, suku Ainu diperbolehkan menangkap 100 ekor ikan salmon untuk keperluan upacara adat.

Upacara adat bernama Ashiri Chep Nomi digelar untuk menyambut kembalinya ikan-ikan salmon dari laut, sambil berdoa untuk musim penangkapan ikan yang lebih baik di masa depan.

Namun Bangsa Raporo Ainu ingin memperluas praktiknya supaya bisa lebih komersial, karena akan mendorong perekonomian bagi komunitasnya.

Mereka berpendapat hal ini sebagai hak masyarakat adat, namun mereka juga menekankan praktik penangkapan ikan salmon akan dilakukan secara berkelanjutan, untuk mengurangi kekhawatiran para nelayan komersial, yang hasil tangkapannya berkurang.

"Saya tahu ini sulit," kata Ainu Rumika Tanno, warga setempat.

"Tetapi hal ini akan membawa kemajuan di masa depan jika kita memenangkan kebenaran. Ini adalah budaya yang berharga, dan saya ingin melestarikannya."

Jepang adalah salah satu negara yang menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Perjanjian ini menjamin hak-hak masyarakat adat untuk "mempertahankan dan memperkuat hubungan spiritual khas mereka" dengan tanah mereka, sekaligus juga memiliki hak untuk "menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan" tanah tersebut berdasarkan "alasan kepemilikan tradisional".

Namun Jepang menyatakan tidak ada suku Ainu tertentu yang tersisa karena asimilasi, karenanya hak-hak tersebut dianggap tidak ada.

Tapi ini adalah argumen yang dianggap tidak akurat dan menyinggung oleh Bangsa Raporo Ainu.

"Posisi masyarakat Pribumi di Asia agak rumit," kata Hideaki Uemura, pakar budaya Ainu dari Keisen University.

"Masyarakat yang tinggal bertetangga tiba-tiba memperluas wilayah mereka. Wajar kalau ada anggaran tertentu untuk memajukan kebudayaan, dan ada sejumlah pembangunan, tapi persoalan hak, termasuk siapa yang menentukan apa itu kebudayaan, tidak dibahas banyak."

"Saya rasa sayang sekali jika orang Jepang mengira Ainu adalah orang Jepang."Suku Ainu disuruh merahasiakan identitasnya

Saat ini, kurang dari 2 persen penduduk Hokkaido diperkirakan adalah warga suku Ainu.

Tapi menurut para pakar dan pengamat, perkiraan ini terlalu rendah karena banyak masyarakat Hokkaido yang tidak mengetahui warisan budaya mereka.

Seperti yang dialami Hiromasa Sashima, usia 56 tahun, yang juga keponakan Masaki.

Ia dibesarkan dengan menyaksikan teman sekelasnya menindas anak dari suku Ainu.

Pada saat itu, Hiromasa merasa beruntung berada di pihak yang menindas.

Namun bertahun-tahun kemudian, di usia 20-an, dia baru mengetahui bahwa dirinya juga adalah suku Ainu.

"Saya langsung teringat wajah anak yang di-bully itu," ujarnya.

"Saya sangat terkejut."

Dia baru belajar soal warisan budaya dan suku Ainu setelah bertemu dengan tokoh-tokoh suku Ainu di Amerika Serikat.

"Mereka sangat bangga," katanya.

"Mereka sudah melakukan penangkapan ikan secara tradisional dan menjalankan bisnis dengan. Sebuah dunia yang berbeda."

Kini, ia ingin rasa bangga itu ditanamkan kepada generasi muda, agar mereka tidak mengalami rasa malu yang pernah ia atau pamannya rasakan.

Syukurlah, beberapa penerus sudah mulai melakukannya.

Kaito Ichikawa, 23 tahun, diberitahu oleh neneknya untuk merahasiakan identitasnya sebagai suku Ainu.

Bahkan saat ini, dia mengaku "terkejut" karena tidak populernya budaya  Ainu.

Tapi sekarang ia membawa warisan Ainu dengan bangga.

"Saya pikir keren kalau bisa terbuka seperti ini dan kita bertarung di pengadilan," katanya.

"Saya dapat mempelajari hal-hal tentang Ainu yang tidak diketahui atau belum pernah diketahui di sekolah. Saya sedang mempelajari tarian Ainu karena ingin mengajari anak saya suatu hari nanti."

Artikel ini diproduksi Erwin Renaldi dari laporan dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagan Semifinal Sepak Bola Asian Games 2022: Tuan Rumah Tumbang, Ada Kejutan

Berita Terkait