Tak Ingin Tapi Mungkin

Senin, 30 Januari 2012 – 03:30 WIB
Moh Mahfud MD. Foto : Arundono W/JPNN

SOSOK yang satu ini dikenal sebagai sosok egaliter, sering ceplas-ceplos dan tak pandang bulu. Komentarnya di media sering membuat banyak pihak tersengat. Itulah Moh Mahfud MD yang kini lebih dikenal sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Sejak "dicomot" dari Yogyakarta oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk menduduki kursi Menteri Pertahanan di era Kabinet Gotong Royong, Mahfud seolah tak lepas lagi dari dunia politik. Meski pria kelahiran Madura, 13 Mei 1957 itu mengaku tak pernah muluk-muluk mengincar jabatan yang bersifat politis, namun keberuntungan selalu menghampirinya.

"Saya tak pernah membayar sepeser pun untuk jabatan-jabatan itu," ucapnya kepada reporter Kesuma Yudha dan fotografer Arundono Wicaksono dari JPNN.

Namun ibarat pohon yang semakin menjulang maka semakin kuat terpaan angin menerjang, Mahfud pun tak terlepas dari kritik dan tudingan miring. Terutama karena semakin dekatnya 2014, bapak tiga anak dan suami dari Zaizatun Nihayati itu dicurigai punya agenda tersembunyi untuk melenggang ke kursi kepresidenan.

Namun santai saja Mahfud menanggapi tudingan itu. "Saya tak punya target politik," ucapnya.

Di sela-sela agenda yang padat sebagai Ketua MK, Mahfud meluangkan waktunya untuk bertutur tentang pandangan hidup, pengalaman pribadi, hingga cita-citanya ke depan. Berikut kutipan wawancara dengan Mahfud MD di ruangan kerjanya di gedung MK;

Anda menempati jabatan-jabatan publik sejak dipilih Gus Dur untuk membantunya di kabinet. Apakah semua jabatan itu diperoleh cuma-cuma atau disertai imbalan?

Saya kira, saya merupakan satu dari sedikit pejabat yang memperoleh jabatan tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Sekarang ini anda lihat, kalau mau jadi pejabat bayar ke rakyat agar dia dipilih, bayar ke atasan agar diangkat, agar jadi calon.

Waktu saya menjadi menteri, begitu saja dipilih oleh Gus Dur.

Begitu pula saat menjadi anggota DPR, saya langsung menjadi calon karena waktu itu saya pimpinan partai (PKB). Waktu ke sini juga (jadi ketua MK) tidak ada mengeluarkan uang, hakim milih sendiri-sendiri, di sini dewasa hakimnya. Silahkan pilih ketuanya dan terpilih saya.

Orang juga harus yakin bahwa tidak selamanya jabatan yang dikejar itu akan didapat. Tetapi juga tidak selamanya orang yang tidak ingin itu tidak mendapatkannya. Tidak selamanya jabatan itu harus diperoleh dengan uang dan biaya.

Dari semua jabatan publik itu, mana yang paling nyaman dan Anda menikmatinya?
Saya punya dua jenis jabatan, satu jabatan struktural (baik saat menjadi menteri, anggota DPR atau kini sebagai hakim MK,red) dan jabatan fungsional sebagai guru besar. Untuk jabatan struktural antara DPR, menteri dan ketua MK, yang paling saya senengi jabatan sebagai ketua MK. Karena di sini saya tidak punya atasan. Lembaga lain seperti Presiden, Ketua DPR dan ketua MPR itu sejajar dengan saya (ketua MK). Karena itu, saya bisa memutuskan langkah-langkah yang harus ditunjukan lembaga ini secara independen dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan lain serta tidak diperintah oleh siapapun.

Terlebih lagi, saya bisa mengekspresikan pandangan saya tentang hukum melalui putusan MK. Misalnya, saya tidak sependapat dalam suatu putusan, saya bisa dissenting opinion, begitu juga dengan hakim MK lainya sehingga jabatan di sini jabatan yang paling bebas.



Kalau jabatan fungsional, tentunya saya nikmati betul sampai dengan hari ini. Sampai hari ini saya masih aktif mengajar di UII, UGM, Universitas Lampung, Universitas Diponegoro. Pokoknya tempat-tempat yang bisa saya jangkau dengan pesawat dan bisa diberi kuliah hari Sabtu dan Minggu. Bahkan dulu saya juga mengajar program S3 di UI, tetapi sejak saya jadi ketua MK berhenti karena tidak membuka kuliah Sabtu dan Minggu.




Memasuki dua periode kepemimpinan Anda di MK, apa keinginan Anda ke depan untuk lembaga pengawal konstitusi ini?


Tugas kehakiman itu sebenarnya tetap, sehingga tidak ada program peningkatan dari tahun ke tahun. Sebab itu tidak ada target ke depannya. Target saya mempertahankan apa yang sudah dicapai, yaitu independensi pengadilan, putusan yang tidak memihak, serta transparansi sehingga dapat dikontrol baik dari sisi administrasinya maupun etika dan moralitas hakim.


Setiap orang memiliki cita-cita dalam hidupnya, apa semua cita-cita Anda sudah tercapai ?


Enggak. Saya merasa semua yang saya citakan itu sudah diberikan Tuhan jauh melebihi yang saya impikan. Sehingga saya katakan dalam istilah hukum, saya sudah mendapat ultra petita (putusan yang tidak diajukan dalam gugatan,red). Saya sendiri merasa mendapat ultra petita cita-cita, karena dulu saya hanya ingin jadi guru agama, makanya saya sekolah di pesantren dan sekolah agama.

Sesudah saya SMA saya ingin jadi hakim, lalu saya masuk sekolah pendidikan hakim (Pendidikan Hakim Islam Negeri setingkat SLTA). Sesudah saya jadi mahasiswa, saya ingin menjadi dosen karena saya melihat dosen itu kok pinter. Semuanya sudah saya dapatkan malah diberi jauh daripada itu dengan jabatan yang sudah saya dapatkan. Jadi semua yang saya cita-citakan itu sudah diberi Tuhan.
 
Menjelang Pemilihan Umum Presiden 2014 mendatang, bagaimana Anda melihat situasi politik saat ini?

Saya sama dengan pandangan umum. Situsi politik saat ini tidak kondusif terhadap pembangunan pada umumnya. Misalnya pembangunan sosial dan pendidikan. Ironisnya, hiruk pikuk politik terus terjadi. Saya kira karena persoalan sistem politik yang kita bangun kurang tepat. Sistem terlalu liberal  di dalam politik, kemudian check and balances tidak berdasar profesionalitas, tetapi tawar menawar kepentingan dan bukan substansi persoalan bangsa.

Nah ini yang menurut saya harus diperbaiki pada 2014, bila tidak akan tetap begini terus. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak akan pernah bisa bergerak, seperti liliput yang akhirnya hanya bergerak di tempat dikarenakan persoalan politik yang tidak kondusif.



Lantas menurut Anda, kriteria pemimpin seperti apa yang diinginkan rakyat Indonesia untuk menggantikan SBY?


Saya tidak punya kriteria kalau dikaitkan dengan calonnya. Tetapi saya punya kriteria yakni harus memiliki ketegasan dan nasionalisme seperti Bung Karno, memiliki kecermatan di dalam manajemen pemerintah seperti Pak Harto, demokratis dan egaliter seperti Gus Dur, memiliki kecerdasan dan kepandaian seperti SBY, dan mempunyai kebersihan seperti Bung Hatta yang sangat sederhana tidak pernah memanfaatkan posisinya untuk mengambil keuntungan. Itu saja bagi saya, tidak ada kriterianya begini-begitu. 



Untuk saat ini, siapa tokoh yang memenuhi kriteria itu sehingga layak maju pada 2014?


Nampaknya dari nama-nama yang akan maju itu belum terlihat jati dirinya secara lengkap. Sebab itu sulit dinilai siapa yang paling dekat ke dalam lima tokoh itu. Tetapi kita masih punya waktu meniali sampai 2014. Biar saja dulu, sampai jati dirinya jelas. Namun menurut saya, sekarang nama-nama yang muncul secara syarat minimal sudah terpenuhi. Tinggal siapa yang paling banyak, tinggal rakyat yang penuhi.



Anda sendiri masih berkeinginan terjun ke dunia politik lagi?


Kalau ke partai politik, saya tidak berkeinginan sama sekali, tapi saya masih mau berpolitik. Politik itu pertama, dari susbtansinya ada dua level, high politic dan saya mau high politic. Misalnya, aspirasi tentang pemerintahan yang bagus. Berbeda dengan low politic.low politic  yang lebih kepada politik praktis. High politic merupakan politik yang tinggi dalam bentuk ide, gagasan dan moralitas.

Saya masih melakukan itu dan itu sering saya tulis di koran. Dari sudut substansi saya ikut high politic.

Sedangkan dari sudut implementasi, saya akan berpolitik tapi tidak harus melalui partai politik. Karena langkah politik itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, gerakan politik dan partai politik. Untuk yang melalui parpol silahkan, ada pemain-pemainya sendiri dan bidang yang mereka lakukan. Tapi kalau gerakan politik itu bisa melaui LSM, Ormas, NU, Muhammadiyah, itu namanya gerakan politk. Dalam arti gerakan politik itu gerakan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Kalau itu saya lakukan, tapi bukan partai politik.


Untuk target poltik?

Tidak ada. Saya katakan semua itu mengalir saja. Tuhan membawa saya ke mana, meletakan saya di mana, mengalir saja. Orang walau punya target, tapi kalau Tuhan tidak mengizinkan? Sebaliknya, orang tidak punya target kalau Tuhan menghendaki, ya terjadi. Jadi di dalam Islam itu kalau Allah menghendaki itu, ya diberi jalan.



Untuk Anda sendiri, apa ada keinginan untuk jadi Capres/cawapres di 2014 ?


Tidak ingin.

Alasannya?

Karena tidak ingin saja.


Soal kemungkinan?


Nah, antara keinginan dan kemungkinan itu berbeda. Kemungkinan itu kalau suatu saat. Kan banyak pertanyaan tapi bagaimana kalau ada orang yang mengajukan atau mencalonkan, nah itu nanti tunggu 2013. Kan gitu, karena sekarang saya hakim. 


Apa menjadi seorang pemimpin negara  juga menjadi cita-cita Anda sejak kecil yang belum tercapai?

Tidak juga ya. Tadi saya katakan karena cita-cita saya sejak kecil hanya ingin jadi guru, hakim dan dosen. Itu saja dan itu bukan pemimpin negara. Saya dulu tidak membayangkan dan berpikiran sama sekali bisa seperti ini, tetapi begitu saya menjadi aktivis mahasiswa, lalu melihat orang jadi pejabat dan mengagumi beberapa orang seperti Malik Fajar (mantan Mendiknas/tokoh Muhammadiyah).

Pikiran saya kalau saya jadi pejabat harus seperti itu. Saya cuma sekilas-sekilas begitu saja. Tapi waktu kecil tidak pernah terbayangkan. saya baru mengerti soal jabatan negara itu setelah jadi dosen.


Anda bilang kemungkinan itu ada. Sampai saat ini apa sudah ada parpol yang mengajukan untuk mengusung Anda maju di 2014 ?


Tidak ada, secara official (resmi) belum ada. Tetapi kalau tokoh-tokoh partai politik yang ngajak bicara sudah banyak.


Siapa saja tokoh yang dimaksud?

Ya itu dak boleh, nanti ribut lagi. Saya ini hakim, tidak boleh iya atau tidak. Nanti tunggu 2013.




Anda sendiri mengaku sering diskusi dengan Aburizal Bakrie (Ical). Apa itu bagian dari rencana untuk maju Pilpres?


Saya tidak pernah ngaku, itu diisukan. Kalau diisukan berarti bukan saya mengaku. Saya diisukan jadi tim sukses Aburizal Bakrie, isu itu dari mana, tidak jelas sumberya. Kalau saya lihat  itu sengaja ada orang yang menjebak saya masuk dalam pusaran politik. Tapi saya tidak peduli, saya juga gak takut dijebat dan tidak ingin dijebak, kecuali saya punya target politik.

Saya memang sering ketemu ical tetapi itu dulu, sebelum dia ketua Golkar, tepatnya Tahun 2002.

Tapi sesudah dia menjadi Ketua Umum Partai Golkar, saya tidak pernah ketemu dengannya di dalam pembicaraan khusus. Saya sering ketemu (Ical) di tempat terbuka seperti, kedatangan Obama (Presiden AS) waktu itu atau pelantikan pejabat dan sebagainya.

Memang pemberitaan yang beredar tidak ditulis bahwa saya ketemu pak Ical itu dulu, tanya saja sama Pak Ical. Ngapain juga (saya ketemu dia) dan saya kira dia juga tidak ada waktu (untuk ketemu).



Banyak kalangan meminta Anda untuk menahan syahwat politik?

Ya silahkan saja. Itu yang bilang yang punya syahwat politik. Saya kan tidak berpolitik. Apa politik saya yang harus saya tahan? Seperti saya katakan tadi, saya masih di high politic, masa saya tahan itu.(kyd/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mencoba Berpikir Lebih Tenang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler