jpnn.com - RIGA – Teror maut yang mengguncang Kota Paris, Prancis, juga menggemparkan masyarakat Uni Eropa (UE). Presiden Polandia Donald Tusk yang kini menjabat presiden bergilir UE pun prihatin. Jumat (9/1) dia menegaskan lagi pentingnya berbagi data penumpang pesawat antarnegara UE.
Beberapa waktu lalu Komisi Eropa menyusun proposal tentang kebijakan internal antarnegara anggota UE untuk berbagi informasi intelijen. Khususnya berbagi data penumpang pesawat terbang yang keluar masuk negara-negara UE.
BACA JUGA: Dua Bayi Palestina Meninggal Karena Cuaca Dingin di Jalur Gaza.
Sayang, proposal itu terganjal keberatan Komite Kebebasan Sipil pada Parlemen Eropa. Akibatnya, sampai sekarang, proposal tersebut belum gol.
Komite Kebebasan Sipil menganggap kebijakan tukar data itu melanggar hak-hak pribadi warga. Tapi, meskipun tersendat, Komisi Eropa tetap melanjutkan pembahasan proposal tersebut. Lembaga eksekutif organisasi terbesar Eropa itu mengatakan, mekanisme tersebut akan sangat berguna untuk mencegah aksi teror atau kejahatan berskala besar.
BACA JUGA: Obama Menawarkan Bantuan Perangi Ekstrimis pada Perancis
Kini, berkaca pada aksi teror di kantor Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang Rabu lalu (7/1), Tusk berinisiatif mempercepat pembahasan proposal tersebut. Rencananya, Komisi Eropa kembali menggelar pertemuan untuk mengegolkan proposal itu pekan depan. Proposal tersebut nanti menjadi landasan hukum bagi lembaga intelijen dan kepolisian UE yang berbagi data.
”Saya berharap mekanisme tersebut bisa berguna untuk mendeteksi individu-individu berbahaya yang sering bepergian dengan pesawat. Itu sangat penting. Terutama untuk mencegah terulangnya tragedi Paris,” papar Tusk dalam jumpa pers di Kota Riga, Latvia.
BACA JUGA: Narkoba, Anak Jackie Chan Dipenjara
Dalam proposal tersebut, menurut dia, UE memberikan keleluasaan kepada seluruh intelijen dan polisi UE untuk mengakses data lawas. ”Teror telah melanda Eropa dan bukan baru kali ini saja. UE tidak bisa diam saja. Kita harus berbuat sesuatu untuk meningkatkan keamanan regional,” tegas Tusk.
Karena itu, para pemimpin UE akan menjadikan teror Paris sebagai agenda utama dalam pertemuan rutin mereka 12 Februari mendatang. Dia berharap 28 negara anggota UE bisa merumuskan sistem keamanan bersama yang lebih tangguh.
Berbeda dengan para pemimpin Eropa, cendekiawan Duke University menyatakan bahwa reaksi paling tepat untuk menyikapi teror Paris adalah menciptakan masyarakat demokratis yang majemuk. Tidak sekadar memperbanyak larangan dan memperketat keamanan seperti sekarang. ”Sudah waktunya mewujudkan demokrasi plural dalam masyarakat kita,” kata Omid Safi, cendekiawan itu.
Teror Paris, mau tidak mau, kembali memanaskan perdebatan tentang kebijakan imigrasi. Beberapa negara kuat UE, salah satunya Jerman, memilih untuk memperketat aturan imigrasi. Tapi, UE berniat memperlonggar aturan tersebut supaya masyarakat kian biasa terhadap keberagaman. ”Kita semakin kehilangan identitas sebagai masyarakat Eropa (karena derasnya arus imigrasi),” ujar Alexander Gauland, politikus Jerman.
Sementara itu, Inggris menjadikan teror Paris sebagai alarm. Kemarin Negeri Big Ben itu langsung melipatgandakan keamanan. Terutama meningkatkan kewaspadaan terhadap individu atau kelompok radikal. ”Menyediakan segala fasilitas untuk mencegah terorisme merupakan prioritas nasional kami,” tegas Menteri Keuangan George Osborne.
Pemerintahan Perdana Menteri (PM) David Cameron sampai menyediakan anggaran khusus untuk menangkal terorisme. Menurut Osborne, pemerintah menggelontorkan dana tambahan sebesar GBP 100 juta (sekitar Rp 1,9 triliun) untuk mengawasi individu yang bepergian ke Syria dan Iraq. Sebab, belakangan banyak warga Inggris yang ikut berjihad di Syria dan Iraq. (AP/WSJ/BBC/hep/c11/ami)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banci Dilarang Mengemudi
Redaktur : Tim Redaksi