Tak Langsung Percaya Nilai Rapor

Rabu, 19 Desember 2012 – 08:30 WIB
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, Djoko Santoso. Foto: M Fathra Nazrul Islam
TAHAPAN Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan tahun ajaran 2013/2014 telah dimulai. Sekolah sudah bisa memasukkan semua data sekolah dan siswa melalui laman Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) yang telah disiapkan panitia seleksi yang terpusat di Universitas Indonesia (UI).

Ada tiga perbedaan penting dalam SNMPTN tahun 2013, yakni pendaftarannya gratis, bebas diikuti semua siswa dari semua sekolah, serta penjaringan didasarkan pada integrasi vertical antara nilai sekolah (rapor) dan Ujian Nasional (UN).

Lantas bagaimana mekanisme penjaringan yang dilakukan panitia? Bagaimana pula cara mengantisipasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M Fathra Nazrul Islam dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, Djoko Santoso, di kantornya, Selasa (18/12) malam.

Apa alasan SNMPTN ujian tulis harus dihapus?

Yang salah tidak ada, yang coba dilakukan itu adalah integrasi vertikal dan efisiensi. Jadi kalau nilainya sudah ada, mengapa harus bikin tes lagi, kan lebih efisien. Kemudian hasil pembelajaran di sekolah diintegrasi vertical dengan di atasnya (UN).

Seperti apa perkembangan proses penerimaan SNMPTN hingga hari kedua, persiapan PTN misalnya?

Pendaftaran kan baru dimulai, terus terang saya belum pantau bagaimana pendaftar, berapa jumlahnya. Tapi yang penting, belum ada keluhan. Mudah-mudahan sampai selesai prosesnya tidak ada keluhan dan bisa berjalan dengan baik. Karena ini kan kita memperkenalkan sistem yang baru, bagaimana proses pembalajaran secara keseluruhan di tingkat SLTA itu, semua digunakan untuk penerimaan di PTN. Ukurannya kan ada dua, satu dari rapor dan kedua Ujian Nasional (UN), dua-duanya digunakan.

Pola penjaringannya seperti apa nantinya?

Yang jelas kita mempunyai nilai rapor. Tentu anda paham, kalau nilai rapor di sekolah satu dengan dengan sekolah lain tidak sama dalam memberikan nilai. Mungkin sekolah satu nilainya bagus-bagus, yang satu agak bagus, yang satu kurang bagus. Nah itu semua, PTN sudah punya datanya, nanti data itu akan dinormalisasi dulu. Jadi bukan berarti di sekolah yang nilainya kurang bagus, bukan berarti sekolahnya jelek, tidak. Mungkin sekolahnya bagus, karena saking bagusnya untuk mencari nilai bagus juga susah. Makanya dinormalisasi nanti, supaya bisa bisa dibandingkan antara siswa yang nilainya tinggi-tinggi terus, padahal sekolahnya gak cukup bagus.

Caranya bagaimana?

Caranya gampang, rumusnya tinggal dikasih faktor, dikasih parameter, dikalikan, hingga keluar angka yang lain. Sehingga nilai satu sama lain bisa dibandingkan. Data itu dari PDSS yang saat ini dalam proses pengisian. Kemudian ada data ujian nasional, karena kualitas setiap daerah berbeda-beda, kalau perlu dinormalisasi, maka PTN akan menormalisasi nilai UN, baru pemprosesan akhir dilakukan penilaian.

Jadi proses penjaringan SNMPTN nanti tetap prestasi siswa yang menentukan?

Iya. Memang ada perbedaan SNMPTN dulu dan sekarang, kalau dalu sekolah dengan berbagai recordnya langsung dikuota, sekolah yang akreditasi A boleh mendaftarkan 50 persen siswanya, kalau sekarang tidak, semua boleh mendaftar. Kemudian hasil nilainya dinormalisasikan. Jadi kualitas siswa yang menentukan.

Kalau mengantisipasi kecurangan dalam pengisian PDSS bagaimana?

O itu mudah itu, deteksinya mudah. Misalnya saja kalau ada dalam pengisian PDSS, itu kan mulai dari kelas I (SLTA), misalnya anak ini bagus terus, kemudian tiba-tiba ujian nasionalnya kok jelek. Kemungkinannya, sekolah itu memang suka memberi nilai bagus, tapi kapasitasnya tidak mencukupi sehingga ujian nasionalnya tidak maksimal.

Kemudian kemungkinan lain anaknya sakit. Datanya ini waktu pelaksanaan bisa didapat semua. Sebaliknya, biasanya nilai rapornya jelek terus tapi tiba-tiba ujian nasional nya bagus, ini ada apa-apa ini. Tapi kalau rapor bagus, UN bagus, memang bagus anaknya berarti. Jadi nanti setelah dipelajari panitia bisa ketemu kejanggalannya.

Kuota SNMPTN 2013 sebanyak 150.000 ribu kursi, sementara diprediksi pendaftar akan meningkat sampai 1,5 juta pendaftar. Yang tidak lulus mau dikemanakan?

Ya sisa yang tidak lulus, kalau dari tahap pertama (SNMPTN undangan) kan 60 persen dari kuota. Yang belum lulus bisa mengikuti ujian bersama melalui penjaringan bersama masuk PTN. Nah, kemudian masih ada jalur mandiri, kuotanya sampai cukup 100 persen. Sesudah itu, kok belum masuk juga, di Indonesia ini kan tidak hanya ada PTN, ada PTS juga. PTS kita se Indonesia 3100 unit, banyak. Ya nanti tentunya bisa masuk PTS ini.

Tapi banyak pihak mengkhawatirkan biaya di PTS tinggi, sehingga hanya kalangan atas saja yang bisa kuliah. Bagaimana nanti pengawasan Dikti?

Begini, kalau PTS memang di luar dari kita, tapi yang PTN kita kendalikan pakai standar biaya perguruan tinggi. PTS sendiri tidak bisa. Tetapi yang penting kita ketahui bersama adalah, kita sendiri juga menyalurkan beasiswa untuk ekonomi lemah. Jumlahnya cukup besar. Beda lagi dengan Bidikmisi. Kalau Bidikmisi per tahun kuotanya 40 ribuan, sedangkan beasiswa tidak mampu bisa empat kali lipatnya.

Biaya pendaftaran memang digratiskan bagi peserta, tapi ditanggulangi oleh pemerintah. Berapa anggaran yang disediakan?

Kita menyediakan Rp100 miliar, itu mencukupi, karena kan cuma urusan online saja. ***


BACA ARTIKEL LAINNYA... Terpenting Sekolah, Balapan untuk Fun

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler